Selasa, 12 Juli 2016

Syahrul Huzni

Ketika Rasulullah menyampaikan kepada para shahabat bahwa agama Islam telah sempurna, para shahabat bersuka ria. Tapi, Abu Bakar tidak. Ia sadar, jika Islam telah sempurna, berarti tugas Rasulullah sudah selesai, dan Rasulullah akan segera meninggalkan para shahabat.
Begitu pun aku, hari ini, di saat seluruh teman bersuka ria atas kelulusan ini. Aku terpuruk dalam kesedihan yang sangat dalam. Aku masih duduk di pojok belakang ketika seluruh temanku merayakan kelulusan ini. Bersama Irvan.
Satu tahun adalah waktu yang sangat singkat bagiku,
Semua temanku tersenyum di hari perpisahan yang indah ini, kalian telah lulus. Besok, aku sudah tidak ada di Garut lagi, pulang ke kampung halaman. Tasikmalaya. Kalian tentu tidak tahu jauh di lubuk hati ini, aku merasa sedih.
Satu tahun di pesantren Al-Ittihad Garut terasa sangat singkat. Rasanya baru kemarin aku diantar ibu dan ayah ke Garut. Aku belum puas belajar di sini, aku masih ingin menimba ilmu lebih banyak lagi dari teman-temanku di Negeri Atap Awan. Rasanya, selalu saja ada ilmu yang baru saja kuketahui.
Banyak sekali hikmah yang telah kudapatkan di Pesantren Al-Ittihad Garut ini. Hikmah tentang kehidupan, persabatan, pengorbanan, persaudaraan, keteguhan, semangat dan cita-cita. Sayangnya, aku hanya merasakan semua itu dalam waktu beberapa bulan saja. Tidak cukup bagiku untuk menikmati semuanya.
Mataku berkaca, jika waktu bisa diputar kembali. Aku akan pindah ke pesantren ini begitu aku masuk ke kelas satu Mu’allimien. Air mataku menetes. Kulirik Irvan di sebelahku, ia pun menitikkan air mata, entah apa yang membuatnya sedih. Mungkinkah karena perpisahan ini atau karena Lulu, gadis pujaannya itu akan dilamar orang lain bulan ini.
Begitu juga untuk perpisahan ini. Aku bingung harus memilih rasa yang mana, sedih atau gembira. Sedih karena aku harus meninggalkan Pesantren ini dengan seribu macam hikmah yang belum kupetik, atau gembira karena aku telah menyelesaikan pendidikanku.
Kulihat Irvan, ia sudah tertidur pulas dengan posisi duduk. Jejak air matanya masih jelas terlihat di pipinya. Agaknya ia belum sempat menghapus air matanya, mungkin karena serangan kantuk begitu kuat baru terasa sekarang. Aku dan Irvan belum sempat tidur semalam karena harus menyelesaikan dekorasi perpisahan ini.
Kupejamkan mataku, beberapa butir air panas mendesak keluar melalui mataku. Akhirnya tumpah dan akupun sudah tidak sanggup lagi menahan rasa kantuk. Aku tertidur pulas.
Terus terang aku sangat bangga menjadi alumni pesantren ini, aku bangga menjadi santri dari ustadz dengan berbagai macam karakter yang unik, dengan berbagai macam cara mengajar yang mengesankan. Aku bangga menjadi teman-teman dari angkatanku. Terutama teman-teman di Negeri Atap Awan. Mereka duduk di depan sana, gembira sekali agaknya menyambut hari kelulusan ini, hingga Iwan terlihat tergelak. Seperti biasa matanya merem.
Purnomo, aku sangat berterima kasih engkau mengajarkanku memahami dunia, mengajarkan aku teknik naik gerbang pesantren, teknik masak, teknik menyetrika, beladiri dan masih banyak lagi. Tapi aku masih penasaran kenapa kamu takut pada kecoa.
Rais, aku bangga menjadi temanmu, terima kasih kau telah membohongiku tentang pesantren ini hingga akhirnya aku terdampar di sini. Terima kasih atas ajaranmu tentang makna persahabatan, dan cara sukses menjaili orang.
Nurrahman Zaki, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan aku tentang hakikat ilmu. Tapi terus terang, kalau urusan tidur, aku tidak mau ikut-ikutan.
Iwan Setiawan, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan keteguhan, pengorbanan dan semangat.
Kulirik Irvan di sebelahku, ia langsung tersenyum padaku. Kuucapkan dalam hatiku, Irvan Permana, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan aku tentang hakikat Cinta.
Taufik Husein. Dari tadi aku tidak terlihat lelaki biang iseng ini, mataku terus sibuk mencari sosoknya di antara teman-temanku yang sedang bersalaman dan berpelukan.
"Van ayo kita ke sana!!"
Aku dan Irvan langsung bergabung dalam acara salaman dan pelukan terakhir itu. Semoga bukan terakhir, semoga kita bisa bertemu lagi. Perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya. Masih banyak yang harus kita lakukan untuk ummat. Aku berharap kita masih bertemu di luar sana. Ketika berhadapan dengan Rais, kutanyakan keberadaan Taufik Husein.
"Taufik kecelakaan motor?!!"
Aku tersentak kaget, begitu juga Irvan. Pantas semalam ketika memasang karya kami yang terakhir, ia tidak ada di gedung. Kecelakaan motor yang ditumpangi Taufik terjadi ketika ia hendak pulang ke asrama setelah mengantarkan karya kami yang terakhir. Kemunculannya yang tiba-tiba di pintu kamar semalam adalah yang terakhir.
Badanku seketika lemas, air mataku menitik.
”Taufik Husein, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan kepadaku arti persahabatan dan kesetiaan.”
Seperti inikah rasa sedih yang saling bertumpuk, seperti inikah Rasulullah kehilangan orang-orang yang disayanginya secara bersamaan, pada bulan dan tahun yang sama. Bagiku, bulan ini adalah syahrul huzni, bulan berkabung.
Hari kelulusan ini, adalah hari berkabung bagiku. Di hari ini pula, tadi aku mendapat kabar dari ayah tentang Paman. Paman yang kurindukan kedatangannya. Paman yang kurindukan wejangannya. Paman terkonyol yang selalu membuatku tergelak. Paman terpintar yang selalu membuatku semangat mencari ilmu. Paman yang rela menukar beasiswanya dengan berjuang di Afganistan.
Dalam satu pertempuran melawan penjajah Uni Soviet, Paman telah gugur.
* * *

Senin, 11 Juli 2016

Kasus Pencurian

Kami pura-pura memeriksa gembok pintu gerbang ketika kulihat seorang santri lewat menuju masjid. Tindakan kami tidak mencurigakan, karena Purnomo memang sudah terbiasa melakukan patroli. Semoga malam itu kami disangka sedang patroli dan sedang mengecek pintu gerbang.
Kami berjalan sangat santai, seolah tidak terjadi apa-apa, obrolan kami yang ketika di luar gerbang masih tentang kehebatan Jet Lee, seketika berubah menjadi obrolan tentang pelajaran. Aku cukup belajar banyak tentang teknik berkamuflase dari Purnomo. Jantungku tetap berdetak kencang, khawatir ada yang tahu aktifitas kami tadi.
Purnomo masih di lantai bawah ketika aku sampai di depan kamar kami, kulihat pintu kamar sedikit terbuka. Aku mengira Iwan atau irvan masih belum tidur. Tapi begitu aku masuk kamar, ternyata mereka sudah tertidur pulas. Tidak seperti biasanya mereka tertidur pulas dengan pintu kamar terbuka.
* * *

Besoknya, setelah makan siang.
Ketika aku masuk kamar, kulihat wajah Iwan pucat. Ia duduk di ranjang kayu. Matanya menerawang seperti mengingat-ingat sesuatu. Lemarinya terbuka lebar, ransel yang biasa digunakan untuk jualan itu tergeletak begitu saja di sampingnya, isinya berserakan di lantai. Pada jam setengah dua ini biasanya ia sudah berangkat berjualan. Awalnya kupikir Iwan salah minum obat, hingga akhirnya ia angkat bicara.
”Sep, jaket hilang.”
Aku terkejut bercampur heran. Aku menghampirinya.
”Masa hilang? Itu jaketmu.”
Aku menunjuk jaket jualannya yang berserakan di lantai.
”Bukan, maksudku tiga potong jaketku hilang.”
”Mungkin kamu lupa ngitung, Wan.”
”Tidak. Aku yakin ada yang hilang. Semua tercatat di sini.”
Iwan memperlihatkan bukunya. Maka kawan, jika Iwan sudah menunjukkan buku catatannya itu, aku yakin ucapannya pasti benar. Dalam pencatatan bisnis, ia memang handal. Tidak ada yang luput satupun dari catatannya.
”Sudah coba diperiksa ulang?”
”Belum.”
Kami pun memeriksa semua bagian kamar kami yang munggil itu. Tidak lama, Irvan datang. Kusampaikan musibah yang menimpa Iwan itu. Irvan pun akhirnya ikut bergabung mencari jaket. Kami memeriksa setiap jengkal bagian kamar, termasuk lemari kami. Tidak terkecuali tempat-tempat yang tidak mungkin benda itu ada di sana, di bawah keset dan tempat sepatu.
”Aku yakin, ini kelakuan si duo jail itu!”
Umpat Iwan di sela-sela pencariannya. Aku sebenarnya setuju dengan pendapat Iwan itu. Terkadang kelakuan kedua orang itu kadang tidak berprikemanusiaan.
”Jangan buruk sangka begitu Wan, belum tentu mereka.”
Irvan tidak setuju.
”Lalu siapa?”
Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Kami pun hanyut dalam pikiran masing-masing sambil terus mencari keberadaan tiga jaket itu. Tiga benda yang sangat berharga bagi Iwan itu benar-benar raib.
Aku ingat, semalam pintu kamar agak terbuka. Mungkin waktu itu seseorang masuk mengambil tiga potong jaket milik Iwan. Ingin kusampaikan kejadian itu, tapi urung. Jika kulakukan, maka pertanyaan berikutnya malah akan mengarah padaku. Apa yang aku lakukan malam itu. Meskipun aku tidak mungkin jadi tertuduh dalam kasus hilangnya jaket Iwan. Setidaknya aksi nekadku dan Purnomo memanjat pintu gerbang itu akan ketahuan. Karena itu kutahan informasi itu.
”Ada apa ini?”
Purnomo datang, baru saja di depan pintu, ia tersentak melihat kamar berantakan. Tapi menurutku reaksinya terlalu berlebihan. Reaksi kaget Purnomo bukan seperti itu. Jika kaget, ia tidak bersuara, apalagi bertanya. Biasanya ia akan melihat sekeliling dengan seksama, setelah yakin ada yang tidak beres, baru ia bertanya. Aku tidak peduli dengan reaksi tidak alami itu. Mau salto pun terserah dia. Itu hak Purnomo.
Serempak kami melihat Purnomo. Lalu kami berpandangan. Agaknya pikiran kami sama, pasti ini kelakuan mantan khadam Purnomo. Dua jin dari masa lalunya yang selalu disuruh mencuri itu. Pasti isengnya sedang kumat.
Purnomo yang kami lihat seperti itu menjadi risih. Ia pun bertanya untuk kedua kalinya. Seperti biasa, di antara bertiga, aku yang paling pintar bercerita. Iwan selalu ribet dengan urusan huruf ’R’, sedangkan Irvan lebih suka bercerita dalam buku diarynya. Aku yakin, kasus hilangnya jaket ini, akan masuk diarynya.
”Tiga potong jaket milik Iwan, hilang.”
Cukup seperti  aku bercerita.
Lalu ketika kutanya kabar tentang dua khadam itu, Purnomo langsung tahu arah pembicaraanku. Menuduh mantan dua khadam nya itu sebagai pelakunya.
”Sembarang kalau nuduh!”
Beberapa menit kemudian pencarian dihentikan. Setiap sudut, bahkan setiap jengkal bagian kamar sudah kami periksa. Tiga potong jaket Iwan benar-benar raib tidak berbekas. Kami pun duduk di ranjang kayu.
”Apa kamar sebelah perlu kita periksa?”
Pertanyaanku itu sebenarnya untuk Purnomo, karena ia santri yang paling cocok untuk melakukan itu. Jika ia yang bertindak, tidak ada yang berani menghalanginya selain kecoa.
”Tidak perlu.”
”Kenapa?”
Iwan tidak puas dengan jawaban Purnomo.
”Harus ada alasan yang tepat untuk memeriksa kamar sebelah. Aku khawatir malah akan menyinggung perasaan mereka. Karena pencurian itu masalah serius.”
Alasan yang masuk akal. Jika kami tiba-tiba memeriksa, secara tidak langsung, lima puluh persen kami telah menuduh salah seorang penghuni kamar sebelah sebagai pelakunya. Mungkin, jika mereka mempersilahkan diri untuk diperiksa, itu beda lagi.
Otak kami terus berputar mencari solusi untuk kasus hilangnya jaket milik Iwan ini. Kami belum berani menyebutnya kasus pencurian. Karena belum tentu dicuri. Bisa saja Iwan melindur, tidur sambil jalan, membawa tiga potong jaketnya, lalu ia lempar ke balik tembok sebelah timur itu. Jaket itu akan langsung hilang terbawa arus sungai yang deras.
”Lalu bagaimana?”
”Bagaimana kalau kita laporkan ke ustadz Dzul.”
Usul Irvan.
”Jangan! Aku khawatir ustadz Dzul malah melarang Iwan menyimpan barang dagangannya di asrama.”
”Betul, jangan Van. Aku malah tidak enak sama ustadz Dzul.”
Kami terdiam kembali, terus mencari solusi untuk kasus ini.
Aku mencium bau konspirasi dalam kasus ini. Purnomo agaknya terlibat dalam kasus ini, reaksi yang tidak alami itu membuktikan ia sudah tahu jika jaket Iwan hilang. Lalu, ia berusaha agar kami tidak mencari di kamar sebelah. Alasan Purnomo bagiku tidak begitu kuat. Bisa saja bicara baik-baik untuk memeriksa kamar itu. Selanjutnya, ia berusaha agar kasus ini tidak bocor ke luar, apalagi sampai ke ustadz Dzul. Jika ustadz Dzul tahu, bukan cuma kamar sebelah yang diperiksa, tapi seluruh sudut asrama gedung A akan diperiksa.
Kutepis prasangka itu. Kuyakinkan Purnomo tidak terlibat dalam kasus ini.
* * *

Malam harinya, kami membicarakan lagi kasus hilangnya jaket itu. Kali ini penghuni kamar sebelah ikut berkumpul. Agaknya Purnomo sudah menyampaikan musibah yang menimpa Iwan itu pada mereka.
Taufik, anak orang kaya yang suka usil itu, kali ini bertindak bak malaikat penolong, ia menawarkan ganti rugi, tapi Iwan menolak.
* * *

Belajar dari Jet Lee

Umumnya para kutu buku. Setiap melihat huruf, bawaannya selalu ingin mengeja, setiap melihat buku maunya ingin membuka, setiap melihat koran atau majalah nalurinya ingin membaca. Dengan catatan, hurufnya masih bisa terbaca, serta bahasanya masih bisa dimengerti. Hal itu terjadi juga padaku.
Siang ini, menjelang sore, aku melihat koran tergeletak di bangku depan kamar Taufik. Aku yakin Taufik lah yang meletakkan koran itu di sana, dialah pria tak bertanggung jawab yang menelantarkan sumber informasi itu. Koran milik pesantren, karena santri yang berani mengambil koran dari kantor pesantren salah satunya dia.
Koran itu tergeletak sangat menggoda. Kuhampiri dia. Tak lupa, kutengok ke dalam kamar melalui pintu yang sedikit terbuka. Taufik dan Rais tidak ada di sana, yang ada hanyalah Zaki, seperti biasa, sedang tertidur pulas. Sebentar lagi, pas adzan ashar dia akan terbangun.
Seperti yang biasa kulakukan, jika membaca buku, aku membaca daftar isinya dulu, sedangkan jika membaca koran, kubaca judulnya dulu. Lembar demi lembar kubuka koran itu, hingga akhirnya aku terpaku pada lembar ke tujuh, kolom paling kanan. Tanganku enggan melanjutkan membuka halaman berikutnya. Judulnya sangat menggoda.
”Jadwal Acara TV”
Maklum, sejak masuk pesantren, dan sejak terperangkap bintang kelas, aku hampir tidak memiliki waktu untuk nonton TV.
Kueja satu per satu jadwal itu dengan seksama. Hingga aku mencapai pada jadwal film yang dimulai tepat jam delapan malam.
Layar Emas : Kungfu Master
Kuhirup napas dalam-dalam lalu kuhempaskan.
Judul asli film ini Once Upon a Time in China, tapi karena mungkin judulnya kepanjangan, atau kurang komersil, film ini akhirnya judulnya disederhanakan agar mudah diingat dan tentunya menjadi lebih komersil. Kungfu Master.
Pikiranku melayang pada saat aku masih Tsanawiyyah. Setiap pulang dari pesantren, angkot yang kutumpangi selalu melewati satu poster besar di pinggir jalan, dengan tulisan besar HARI INI. Lalu dibawahnya ada gambar film.
Salah satu yang membuatku tertarik untuk menonton film ini, bercerita tentang Wong Fei Hung. Menurut informasi yang belum jelas, tokoh ini termasuk dari kalangan muslim China.
Sejak masuk pesantren, aku tidak berani lagi nonton film di bioskop, jangankan nonton, berjalan di depan bioskop pun aku tidak berani. Jika terpaksa harus lewat bioskop, aku akan berjalan cepat-cepat, atau aku akan berjalan di seberang bioskop. Tapi, diam-diam mataku melirik pada setiap poster film yang ada di sana.
Kini film itu akan diputar TV. Itu artinya film itu sudah melalui badan sensor, semua adegan tidak senonoh sudah dipangkas habis, itu artinya semua orang normal, termasuk aku, salah seorang santri yang normal, diperbolehkan menonton film itu. Tapi sayang, aku tinggal di asrama, jauh dari rumah. Aku cuma berharap, suatu saat nanti film ini akan ditayangkan ulang. Kalau perlu, aku akan mengusulkan tayangan ulang film ini lewat surat. Tapi nanti setelah aku selesai sekolah.
”Koran baru?”
Tanya Purnomo dari pintu kamar. Aku mengangguk. Ia langsung mendekatiku, lalu duduk di sebelahku. Matanya langsung tertuju pada koran yang masih kubentangkan.
Sama sepertiku, matanya langsung tertuju pada jadwal film yang akan tayang hari ini.
”Kungfu Master. Film bagus nih Sep.”
Aku hanya tersenyum rapuh. Aku tahu ini film bagus, tapi kalau tidak bisa nonton percuma saja.
”Nonton yuk!”
”Nonton di mana?”
”Ya di TV lah”
”Maksudku di TV siapa?”
Aku percaya, Purnomo bisa melakukan apapun yang tidak bisa kulakukan. Termasuk salah satunya nonton TV, sedangkan di asrama tidak ada dan tidak diperboleh memiliki TV. Menurut pantauannya, hanya ada dua TV di lingkungan pesantren, satu di ruang ustadz.
”Kita tidak mungkin nonton di sana”
TV itu khusus ustadz, tontonannya pun tersaring oleh ustadz, pasti selera kami berbeda dengan ustadz, mana mungkin mereka mau nonton film.
”Satu lagi di asrama puteri”
Aku antusias. Tapi, dengan alasan apapun tidak mungkin bisa nonton di sana. TV di asrama puteri hanya diputar pada waktu hari libur saja.
Pada saat-saat seperti ini, aku mengharapkan dimutasi ke gedung C, di luar komplek pesantren. Kalau tinggal di sana pasti bisa bebas nonton TV. Tapi, jika aku di sana, aku akan rindu dengan pintu hijau muda itu dengan semua penghuninya.
”Kita nonton di rumah Nurdin saja.”
Nurdin teman sekelas kami, rumahnya berada tidak jauh dari pesantren.
”Tapi Pur, jadwal film jam delapan sampai jam sepuluh malam. Sedangkan pintu gerbang pesantren ditutup jam sembilan, bagaimana nanti kita pulang.”
”Udah lah gampang.”
”Kamu punya kunci gerbang cadangan?”
”Bisa diatur.”
* * *

Jika santri memilih untuk tinggal di asrama, maka ia harus mengikuti peraturan yang ditetapkan pesantren. Tapi jika memilih kost atau kontrak, santri hanya diharuskan mengikuti peraturan selama jam pelajaran berlangsung saja.
Selepas shalat Isya, kira-kira jam setengah delapan, kami pergi ke luar area pesantren. Tidak akan ada yang curiga kami akan pergi ke mana. Karena tidak ada seorang ustadz pun yang mengontrol kepergian kami. Kami diperbolehkan punya kegiatan apapun di luar pesantren. Asal pulang kembali sebelum pintu gerbang ditutup. Jam sembilan malam.
Senang hati Nurdin menerima kedatangan kami, ternyata bukan cuma aku yang menyukai film ini, ternyata Nurdin juga. Jika nonton ramai-ramai akan seru.
Acara nonton bareng di rumah Nurdin selesai. Tidak seperti yang tertulis di koran. Selesai jam sepuluh malam, kenyataannya selesai film jam setengah sebelas malam.
“Pur, gimana nih?”
“Sudah menginap saja di sini.” Usul Nurdin.
Jika kami menginap di rumah Nurdin, besok pagi, sesudah shubuh akan data kajian rutin kitab tafsir Jalalain. Jika kami tidak ada di tempat kajian, maka kami akan ketahuan kami tidak ada di pesantren.
Akhirnya kami memutuskan tidak menginap. Sepanjang jalan kami membahas film yang diperankan Jet Lee itu. Jurusnya, ilmu meringankan tubuhnya, dia memang hebat.
Begitu kami masuk di jalan selebar truk itu, dari sana kami sudah bisa melihat  pintu gerbang sudah tertutup. Kami berjalan menuju pintu gerbang, lampu di kanan kiri jalan tidak begitu terang. Pada beberapa bagian terlihat gelap.
"Ustadz Dzul lewat!"
Lenganku ditarik Purnomo hingga merapat ke dinding gelap. Perasaanku mulai tidak enak. Kulihat ustadz Dzul melintas di depan kelas, menuju ke ruang guru yang berdekatan dengan asrama putera gedung B.
Setelah ustadz Dzul tidak kelihatan, kami berjalan perlahan menuju pintu gerbang. Rantai berukuran cukup besar sudah membelit dua ujung gerbang besi itu. Ketika kutanyakan kuncinya pada Purnomo.
”Aku tidak bawa kunci.”
”Hah, bukannya tadi bilang kunci ada?”
”Aku bilang gampang saja.”
Purnomo tidak banyak bicara lagi, ia tidak mau banyak berdebat. ia menaiki pintu gerbang yang tingginya mencapai empat meter itu, lalu turun di seberang sana. Sangat mudah. Aku masih tertinggal di balik gerbang.
”Ayo Sep cepetan, nanti ustadz Dzul keburu lewat lagi!”
Ragu. Tapi akhirnya aku pun nekad naik pintu gerbang itu. Kali ini aku langsung mempraktekkan ilmu yang diajarkan Jet Lee.
* * *

Duo Jail


Menurut penuturan Iwan, sejak maghrib sampai isya listrik di asrama gedung A tiga kali padam. Aku tidak tahu itu, karena pada rentang waktu itu aku sedang berada di masjid. Mengaji.
“Ini tidak seperlti biasanya, Sep.”
“Mungkin ada yang korsleting listrik.”
Iwan tidak memperpanjang obrolan itu, penjelasanku sepertinya masuk akal. Tapi, sepertinya ada yang ia tutupi. Aku meneruskan membaca kitab bulughul maram.
“Masalahnya, lampu itu justelru mati setiap aku ke kamalr mandi.”
“Kok bisa begitu?”
Aku mulai tertarik pengaduan Iwan. Aku lebih cepat akrab dengannya dibanding santri lain di kamarku. Benar kata orang-orang tua, orang cadel, orang yang tidak bisa mengucapkan huruf ‘R’ dengan benar, biasanya lebih supel daripada orang berlidah sempurna, merekapun lebih mudah diterima oleh orang sekitarnya.
“Aku tidak tau. Justelru itu yang ingin kuselidiki.”
Jika lampu gedung A mati, itu artinya satu blok gedung itu mati, mulai dari lantai Negeri Atas Awan, lantai dua di bawahnya yang terdiri dari dua ruang asrama serta beberapa kelas, lalu lantai paling bawah, kamar mandi, dapur umum, dan beberapa kelas. Jika lampu mati pada malam hari, tidak bisa kubayangkan gelapnya kamar mandi itu, siang hari saja kadang memerlukan lampu penerangan.
“Aku bukan takut gelap, Sep. Aku cuma tidak bisa sendirian di tempat gelap.”
Tapi, dari ceritanya kemudian, Iwan memiliki trauma psikis masa kecil yang masih membekas. Ia pernah dikurung di tempat gelap, bukan cuma itu, ia ditakut-takuti dengan suara-suara yang menakutkan, hingga pingsan. Tega sekali orang yang melakukan itu pada makhluk berwajah innocent ini. Seharusnya Iwan ditemani sewaktu dikurung itu.
“Aku jadi culriga.”
Iwan terlihat serius.
“Curiga? Curiga sama siapa?”
“Duo Jail itu.”
“Duo Jail? Siapa?”
“Taufik dan Rais.”
Iwan setengah berbisik.
 “Taufik dan Rais?”
Iwan mengangguk. Ia tergesa-gesa menuju pintu kamar, memeriksa jika ada orang di luar. Agaknya ia khawatir orang yang sedang dibicarakannya berada di luar.
Aku baru tahu ada panggilan khusus untuk dua orang itu. Duo Jail. Brand unik dan menjual. Kalau Rais tukang jail, itu sudah pasti. Makhluk kurus kering itulah yang patut diminta pertanggungjawaban atas kepindahanku ke pesantren ini.
Jika Taufik tukang jail juga, aku baru tahu, karena aku belum pernah dijailinya. Rasanya tidak mungkin santri keren itu suka jail. Taufik yang kukenal adalah santri ramah yang sangat menggilai si bola bundar, santri yang sering bolos di hari minggu.
Pasti ada yang salah dengan mata Iwan yang suka merem ketika tertawa itu. Kusampaikan pendapatku tentang Taufik pada Iwan.
“Justelru dia biangnya!”
“Maksudnya?”
“Si klriwil itu biangnya, si ceking tinggi itu yang selalu punya ide jail. Sedangkan si Lrais hanya ikut-ikutan saja!”
“Tidak terbalik, Wan?”
“Maksudmu?”
Kuceritakan pertemuanku dengan makhluk penghuni kawah gunung Galunggung bernama Raisul Balad itu, hingga akhirnya aku memutuskan pindah ke Garut. Detil, tidak ada yang terlewat sedikitpun.
“Bukan! si Taufik biangnya!”
“Rais, wan!”
“Taufik, Sep!”
“Pendapatmu itu akan belrubah jika kau dengalr kisahku.”
“Tidak mungkin!”
Mengalirlah cerita kejailan-kejailan Taufik dari mulut Iwan yang hampir berbusa itu. Ada satu kejadian yang tidak pernah bisa ia lupakan, tragedi makan malam bersama ketika camping di pasir putih.
Mari kuceritakan tragedi itu menurut versiku, karena agaknya Iwan tidak pandai bercerita, ia pun selalu berusaha menghindari huruf ‘R’. Aku sempat dibuat pusing ketika mencerna kisah tanpa huruf ‘R’ itu. Percayalah, versiku ini tidak akan mengubah esensi sebenarnya dari kisah Iwan.
Jam delapan malam di Pasir Putih. Malam itu begitu dingin, gelap, sepi, senyap, lalu perut pun terasa keroncongan. Kira-kira prolognya seperti itu. Di bawah cahaya lampu damar yang temaram, nasi liwet dan mie goreng terhidang di atas selembar daun pisang, siap disantap. Makan malam dimulai tanpa tembakan start atau tembakan salvo, hanya sebaris dua dari santri-santri yang kelaparan. Di tengah acara makan malam itu, tiba-tiba lampu damar mati, seketika gelap. Lalu terasa seperti ada benda-benda berjatuhan dari langit, tepat ke atas hidangan. Karena perut sudah terlanjur sangat lapar, makan malam pun dilanjutkan. Cuma beberapa detik kemudian, terdengar teriakan di beberapa titik lokasi makan malam.
“Air! Waduh! pedas! Kurang ajar! Kalakuan saha ieu!”
Ternyata benda yang berjatuhan dari langit itu adalah cabe rawit yang jumlahnya ratusan. Rais tidak ikut pada acara camping itu, Iwan pun tidak percaya itu perbuatan iseng para alien. Berarti pelaku utamanya cuma satu orang.
“Taufik!”
“Rais!”
“Taufik, Sep!”
“Rais, Wan!”
“...........!”
“...........!”
Perdebatan tentang duo jail itu berakhir juga. Kami sepakat duo jail itu berdiri sendiri, masing-masing dari mereka bertindak sebagai konseptor sekaligus pelaksana. Satu sama lain tidak saling membutuhkan, mereka beroperasi masing-masing. Tapi, jika mereka bersatu, maka kejailan mereka akan semakin hebat, mereka akan memiliki alibi sempurna ketika sedang diintrogasi. Psikopat!.
“Kamu musti hati-hati, Sep!”
“Kamu juga, Wan!”
* * *

Malam terus berlanjut, sama sekali tidak peduli dengan cerita Iwan tentang matinya listrik hingga tiga kali itu. Untungnya, listrik tampaknya tahu diri, sejak kami membicarakannya awal malam tadi, ia tidak pernah mati lagi. Sementara itu Iwan masih tetap yakin, kematian listrik itu pasti ada hubungannya dengan duo iseng. Iwan itu memang keras kepala.
Dalam perbincangan tadi, sebenarnya ada yang luput dari pertanyaanku, aku tidak bisa menebak alasan Iwan tiga kali bolak balik ke kamar mandi dalam tempo satu jam. Itu urusan Iwan!
Jam sebelas malam.
Udara dingin membuatku ingin buang air kecil. Aku turun dari ranjang kayu bagian atas itu, gerakanku membuat ranjang kayu itu berderit-derit, suara itu membangunkan Iwan yang biasanya tertidur pulas. Agaknya kejadian tadi membuat tidurnya tidak nyenyak.
“Hati-hati, Sep!”
“Hmm!”
Aku membalasnya dengan gumaman singkat. Peristiwa di masa kecilnya itu benar-benar membuatnya paranoid.
Ketika aku melewati kamar tempat bercokolnya duo iseng itu, kusempatkan melirik kamar itu. Gelap, seperti kamarku. Tidak ada aktifitas mencurigakan di sana. Seperti biasa, kusempatkan melihat pintu hijau muda di kejauhan sana. Sama, tidak ada pergerakan di sana. Sepi.
Keperluan mendesak harus segera ditunaikan. Kuturuni tangga. Di lantai dua kusempatkan melihat meteran listrik, sumber listrik blok gedung A. Di sanapun tidak ada yang mencurigakan. Jika Taufik atau Rais pelaku pemadaman listrik itu, maka mereka harus turun ke lantai dua. Sekarang mereka sudah tertidur pulas. Jika mereka turun di malam yang sepi ini, suara langkah kaki mereka pasti akan jelas terdengar hingga kamar mandi di bawah. Jika mereka pelakunya akan beresiko ketahuan oleh penghuni lantai dua yang jumlahnya puluhan santri. Mereka pasti akan berpikir beberapa kali.
Kulanjutkan perjalanan menuruni tangga hingga kamar mandi. Sepi. Tidak ada seorang santri pun di sana. Sebelum masuk kamar mandi, kupertajam indera pendengarku. Tidak ada satu langkah kakipun terdengar.
“Aman!”
Aku baru masuk kamar mandi ketika lampu kamar mandi tiba-tiba berkedip, lalu... pet! Mati. Gelap, benar-benar gelap. Bayangkan, kalaulah Iwan yang berkulit putih itu berdiri satu sentimeter dari mataku, pasti tidak akan terlihat, apalagi Irvan. Setengah menit kemudian lampu menyala. Kulanjutkan keperluanku. Tidak sampai satu menit, lampu berkedip-kedip lagi, kali ini agak lama, lalu terdengar ledakan kecil, dan lampu mati.
Tanganku meraba-raba untuk mencari slot pintu kamar mandi. Setelah terbebas dari kamar mandi gelap itu, ternyata di luar pun hampir sama gelapnya, karena aku masih berada di lorong. Aku harus menggapai dinding untuk bisa mencapai tangga menuju lantai atas. Setidaknya di sana ada sedikit sinar dari blok gedung sebelah.
Lampu belum menyala lagi ketika aku mencapai tangga. Di lantai dua, beberapa santri sedang memeriksa meteran listrik dengan lampu senter. Asap kecil mengepul dari alat itu. Rupanya ledakan kecil itu bersumber dari sana. Terdengar suara tawa dari lantai atap.
Tiba di lantai atap, Purnomo dan Iwan masih tertawa di pintu kamar sebelah. Iwan terutama, ia terlihat puas sekali. Kulongokkan kepalaku ke dalam kamar. Lewat lampu senter yang diarahkan Purnomo, aku bisa melihat Taufik yang sedang duduk di lantai, badannya bersender di ranjang kayu, mukanya pucat.
Kutanyakan pada Iwan kejadian yang telah kulewatkan itu. Seperti biasa, aku harus menyampaikannya kembali dalam versiku. Sungguh, cerita tanpa huruf ‘R’ itu sangat membingungkan.
Ceritanya seperti ini. Iwan masih yakin peristiwa tadi itu perbuatan duo iseng. Karena itu, begitu aku keluar kamar, diam-diam Iwan pun keluar, lalu mengendap-endap ke pintu kamar sebelah.
“Sepi, sunyi, senyap, angin dingin.”
Seperti itulah Iwan membumbui ceritanya tanpa huruf ‘R’.
Ketika lampu berkedip lalu mati, terlihat percikan-percikan kecil di kamar yang gelap itu. Iwan semakin yakin, kematian lampu itu ulah penghuni kamar sebelah. Ia mencoba menahan diri hingga meteran listrik di lantai dua dinyalakan kembali. Lalu begitu lampu berkedip-kedip lagi, Iwan mendobrak pintu kamar. Taufik kaget. ujung kabel yang seharusnya tidak dipegangnya itu tergenggam. Lalu bergeraklah Taufik layaknya penari break dance diiringi kedipan lampu disco yang diakhiri dengan ledakan kecil di bawah.
Kasus lampu mati terkuak. Taufik pelakunya, Iwan kelinci percobaannya, aku – santri baru – korbannya, dan Iwan juga polisi penggerebeknya, tujuan yang ingin dicapai adalah aku berteriak ketakutan. Kesimpulannya operasi jail Taufik gagal.
Taufik harus mempertanggungjawabkan dan mengganti seluruh kerusakan yang timbul akibat perbuatannya. Bagi santri anak orang kaya itu bukan masalah. Hanya saja kami berharap Taufik kapok, lalu tobat. Dalam dunia bisnis, membangun brand itu sangat sulit. Begitu juga Taufik, brand duo iseng yang telah dibangunnya selama lima tahun di pesantren, tampaknya tidak akan dilepas begitu saja.
* * *

Pesantren Al-Ittihad Garut

Waktu menunjukkan jam satu siang, ketika mobil angkot berhenti tepat di seberang sebuah papan nama. Aku turun dari angkot, diikuti Ibu, sementara ayah masih di dalam angkot menunggu kembalian dari si supir.
Sulitnya mencari nafkah, persaingan usaha semakin tajam, rasa ingin berbagi semakin hilang. Dulu, ketika paman bilang aku masih bodoh –TK–, setiap angkot di kampungku pasti memiliki partner kerja, yang biasa disebut kenek, bahasa kerennya kondektur. Tapi sekarang, tidak ada satupun angkot yang memiliki kenek, seperti yang terjadi di Garut. Entahlah, apa benar keinginan berbagi itu semakin hilang? Atau tujuannya ingin menghemat biaya dan tenaga? Atau mungkin kebijakan tentang transportasi angkot? Aku tidak tahu. Itu urusan Menteri Transportasi.
Pesantren Al-Ittihad No. 19 Guntur Garut
Alamat : Jl. Guntur *** **** Garut
*******************************
Aku terdiam menatap papan nama yang begitu sederhana. Panjangnya sekitar tiga meter dengan lebar kira-kira satu meter. Hanya ditopang dua pipa besi bercat hijau tua yang tingginya sekitar empat meter. Beberapa bagian catnya bahkan sudah terkelupas. Yang aku tahu, papan nama adalah satu simbol identitas yang menggambarkan bangunan yang berada di belakangnya.
Aku mulai merasa ada yang tidak beres untuk ucapan Rais. Jika memang, pesantren Al-Ittihad memiliki bangunan yang megah, mengapa penampilan papan namanya begitu sederhana.
Jangan-jangan aku salah alamat.
”Ayo Sep nyebrang!”
Ayah menyebrang diikuti Ibu. Aku tidak mau ketinggalan sambil membawa tas ransel yang pernah menemaniku ke gunung Galunggung. Ibu, hanya membawa tas kecil yang biasa dibawanya jika ke pasar. Sedangkan ayah membawa tas koper bersejarah miliknya.
Menurut cerita ayah, ia membeli tas koper itu sejak masih bujangan, ketika untuk pertama kalinya ia berkelana jauh dari kedua orang tuanya, kakek dan nenekku. Hal yang sama, kini akan kulakukan, hidup jauh dari kedua orang tua, maka koper berwarna hijau itulah yang akan menemaniku. Meski koper itu berumur lebih tua dari umurku, kotak tempat pakaian itu masih terlihat kokoh, warnanya pun hanya sedikit pudar. Hebatnya lagi, kunci koper yang sangat kecil itu masih ada. Maka, secara tersirat ayah mengamanahkan tas koper itu padaku sambil mengatakan,
Sep, jagalah tas koper itu dengan sepenuh jiwamu!
Kami menyusuri jalan yang hanya bisa dilalui satu mobil itu. Bisa kubayangkan, jika dua mobil berpas-pasan di jalan ini, maka, salah satu mobil harus mundur agar kedua mobil bisa melalui jalan kecil ini.
Langkah pertama, kedua dan seterusnya, yang kulihat di kedua sisi jalan hanyalah rumah penduduk, belum kutemukan satupun bangunan pesantren. Tapi, diujung jalan sana, kulihat pohon besar yang cukup rindang, tidak jauh dari pohon itu seperti bangunan kelas. Ingat, baru seperti ruang kelas, karena tidak semegah yang diceritakan Rais.
Perasaanku mulai tidak enak.
Kami terus berjalan hingga melewati pintu gerbang besi yang tingginya sekitar lima meter. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku terkunci di luar, lalu harus memanjat pintu gerbang setinggi itu. Pasti cukup sulit melewatinya. Ketika nyantri di Tasikmalaya, aku pernah menaiki pintu gerbang pesantren yang tingginya hanya dua meter saja. Itu juga cukup susah. Ini lima meter!
Akhirnya kami sampai ke area kosong seluas lapangan bulu tangkis, ada beberapa bangunan berlantai dua yang mirip kelas di sana. Tiga orang santri bercelana warna krem melintas di teras bangunan itu. Di salah satu dinding atas lantai dua, kulihat kaligrafi arab bergaya Tsuluts berwarna hijau dengan warna latar putih pudar.
”Khairunnaas anfa’uhum linnaas”[1]
Bagi orang-orang yang tidak tahu kaidah penulisan kaligrafi Arab, gaya tsuluts termasuk jenis kaligrafi yang agak sulit dibaca, salah satu faktornya terlalu banyak pernak-pernik yang menghiasi huruf. Aku beruntung sekali pernah belajar kaligrafi arab yang biasa disebut khat.
Inikah Pesantren Al-Ittihad Garut?
Kedua mataku mengembun. Kurang ajar nian makhluk kurus kering bernama Raisul Balad itu, ia telah menjailiku. Aku masih berharap salah alamat, masuk ke pesantren yang salah. Tapi, nama Pesantren Al-Ittihad Garut sudah jelas pada papan nama di depan tadi.
Ayah berdiri di belakangku, membiarkanku menumpahkan seluruh asa dalam mengagumi pesantren baruku. Seandainya ayah tahu isi hatiku yang sebenarnya, niscaya ayah akan menuntun aku kembali ke Tasikmalaya. Tapi, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kasihan ayah, jika harus kembali sia-sia. Keinginan agar putranya menjadi murid ulama idolanya akan pupus.
Berbeda dengan Ibu, tampaknya Ibu tidak sabar berlama-lama. Begitu dua orang santri wanita melintas di depan kami. Ibu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya letak kantor pesantren.
”Itu kantornya.”
Jawab santri berparas anggun itu sambil menunjuk sebuah bangunan.
”Itu?”
Aku tertegun. Bangunan yang ditunjuk santri itu sebuah rumah yang pintu depannya dibiarkan terbuka lebar. Itu bukan kantor, bangunan itu adalah rumah seperti rumah lainnya yang kutemui tadi sepanjang jalan kecil. Dua santri wanita itu berlalu.
”Tunggu!”
Mereka menghentikan langkahnya, lalu menoleh padaku.
”Betul, itu kantornya?”
Santri anggun itu mengangguk sambil tersenyum, sedangkan temannya terlihat kurang bersahabat. Wajahku jadi setengah tersenyum dan setengah lagi tidak.
Sebenarnya, aktifitas di balik jendela berkusen warna hijau muda itu, sudah cukup membuktikan bahwa bangunan itu adalah sebuah kantor. Seorang lelaki paruh baya, berambut lurus dan berkaca mata tebal sedang mengetik di depan komputer. Ditambah pula dengan kedatangan dua santri bercelana warna krem menghampiri jendela itu sambil menyodorkan lembaran kertas, semacam kartu iuran. Pertanyaanku tadi hanya ingin memastikan wajah wanita anggun itu. Karena wajah anggunnya itu  mengingatkanku pada seseorang. Ini bukan bisa-bisanya lelaki. Sungguh!
Kami segera menghampiri kantor, lalu mengucapkan salam di depan pintu yang terbuka lebar itu.
Tidak lama kemudian, seorang lelaki berwajah kotak muncul menghampiri kami, tulang alisnya menonjol, sorot matanya sangat tajam, lehernya besar dengan pundak yang sedikit menonjol, kedua tangannya kekar berotot, terlihat sekali ia rajin berolah raga. Badannya atletis dengan dada bidang membusung. Sepintas mirip bintang film Hollywood pemeran utama The Terminator, tapi dengan tinggi 170 sentimeter saja. Aku langsung mengkerut takut. Kesan pertamaku, aku akan menemukan keangkeran dari lelaki itu. Gerak-gerikku akan selalu dipantau oleh lelaki bermata elang itu.
”Dzul Qarnain. Panggil saya Dzul saja.”
Lelaki itu memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangan. Dari logat bicaranya, agaknya ia orang Batak. Kami menyambut tangannya bergantian, tentu saja kecuali Ibu, karena laki-laki dan wanita bukan muhrim, haram bersentuhan.
Ayah pun terlibat perbincangan dengan orang yang cukup dipanggil Dzul itu. Ayah menyampaikan niat kedatangan kami ke Pesantren. Berdasarkan perbincangan mereka, ternyata Pesantren Al-Ittihad Garut sama seperti pesantren lamaku, membebaskan seluruh santrinya untuk memilih tempat tinggal, bisa tinggal di asrama, bisa juga kost di sekitar pesantren.
Awalnya kupikir seluruh santri tinggal di asrama. Tiga gedung asrama putera tentu bisa menampung seluruh santri. Aku mulai curiga, kebohongan apa lagi yang telah disampaikan Rais padaku. Tiga gedung asrama putera itu pasti tidak semegah yang kubayangkan.
Selanjutnya perbincangan mulai mengarah padaku, tentang asal pesantrenku, prestasiku, lalu alasan pindahku. Tidak lupa lelaki santun itu memintaku untuk menunjukkan raport terakhirku. Beberapa saat ia membuka-buka raportku.
”Baik, putra Bapak diterima di sini.”
Ayah dan Ibu tampak begitu senang. Sedangkan aku belum jelas, serasa berada di antara dua rasa, antara senang dan sedih. Senang karena melihat kedua orang tua gembira. Sedih, karena pesantren ini tidak sesuai dengan yang kubayangkan. Satu simpul kebohongan sudah terkuak, bangunan kelas yang kokoh, itu bohong!. Mungkin sebentar lagi asrama.
Selanjutnya aku diantar menuju ruang asrama yang akan kutempati. Letaknya tidak jauh dari kantor. Tapi, karena asrama yang akan kutempati berada di lantai tiga, ayah dan Ibu dianjurkan untuk menunggu di kantor saja. Lelaki kekar itu menjinjing tas koper bersejarah milik ayah yang berwarna hijau itu. Ringan sekali tampaknya tas itu di tangan ustadz berotot itu.
* * *

Setelah shalat dhuhur dan ashar dilakukan dengan cara jama’ dan qashar di salah satu ruangan kantor, Ayah dan Ibu akhirnya pulang kembali ke Tasikmalaya. Petuah-petuah singkat keluar dari mulut dua orang yang sangat kucintai itu, mulai dari jangan telat makan hingga jangan lupa minum obat, kalau sakit.
Kucium kedua tangan Ayah dan Ibu penuh hidmat. Mata Ibu mulai berkaca, ayah juga. Akupun sama, kilatan air mata sudah mulai tampak di kedua mataku yang mulai memanas. Bahkan kalau boleh, aku ingin menangis. Bukan, kali ini bukan perpisahaan yang membuat mataku mengembun begitu, karena dari awal aku sudah siap, perpisahan ini akan terjadi. Ada hal lain yang membuatku ingin menangis. Nanti aku ceritakan. Kalau sempat.
* * *


[1] “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Pemilik Pedang Naga Puspa



Ayah dan Ibu sudah pulang. Di ujung jalan, tepat di bawah papan nama tua kusam itu, mereka ditelan angkot yang menuju Terminal. Tinggal aku sendirian, menyesali keputusanku pindah ke pesantren ini. Aku berjalan sendirian menuju kamar baruku yang berada di puncak gedung A. Memulai petualangan baru di pesantren baru, di asrama baru, dan besok, di kelas baru.
Mari kuceritakan alasan sebenarnya yang membuatku ingin menangis.
Tadi, ketika kami, aku dan ustadz Dzul Qarnain – Lelaki kekar itu ternyata penanggungjawab asrama putra, para santri biasa memanggilnya dengan sebutan ustadz Dzul – menuju kamar asrama yang akan kutempati. Kecurigaanku tentang kebohongan Rais lainnya mulai terbukti. Ternyata, salah satu gedung asrama yang dimaksud makhluk tidak tahu diri itu, hanyalah dua ruangan di lantai dua bangunan kelas yang disulap menjadi tempat tidur. Meja dan kursi belajar diganti ranjang kayu dan lemari pakaian, sama persis seperti asrama di pesantren lamaku, bahkan di sana lebih tertata rapi.
Tangganya, pertama kali naik, aku harus berpegangan pada pegangan besi yang terpasang di kedua sisi tangga. Dengan tingkat kemiringan tangga yang sangat mengkhawatirkan – kemiringannya lebih dari empat puluh lima derajat – membuatku harus ekstra hati-hati. Tangga ini jelas berbeda dengan medan Gunung Galunggung yang pernah kulalui. Selain curam, lantai tangga selalu basah, karena tepat di bawah tangga itu, terdapat kamar mandi santri. Terpeleset, maka sempurnalah hidupku dalam kondisi membujang. Paling ringan, masuk UGD. Mungkin, itulah alasan sebenarnya Ayah dan Ibu tidak diajak mengantarku ke ruang asrama.
Belum selesai, kamarku bukan di salah satu ruangan kelas tadi. Setelah melewati tangga curam itu, aku masih harus naik tangga lagi. Lumayan, tangga berikutnya terasa nyaman, tingkat kemiringannya sekitar tiga puluh derajat saja. Tibalah aku di lantai tiga, sebenarnya bukan lantai tiga, tapi atap pesantren. Harus percaya! Aku menempati salah satu kamar yang dibangun di atap pesantren!
Tepat di atap ruang asrama, terdapat empat kamar, dua kamar untuk santri di sebelah utara, ditempati beberap orang santri, sedangkan dua kamar lagi di sebelah selatan, ditempati oleh ustadz bujangan yang belum punya rumah, semacam mess tipe Kamar Sangat Sederhana. Kamar utara dan selatan berhadapan dengan jarak sekitar empat meter. Sebelah timur ditutup dinding setinggi dua meter, mungkin sebagai tindakan antisipatisi agar kami tidak terjatuh ke bawah ketika kami pusing karena pelajaran. Tepat di bawah, di balik tembok itu adalah sungai. Sebelah barat ditutup pagar besi setinggi satu meter yang menutupi area tempat kami menjemur pakaian.
Jika dilihat dari kontur bangunan, agaknya empat kamar itu bukanlah bagian dari rancang bangun pesantren. Empat kamar itu seperti teronggok begitu saja diatas atap, seperti bagian terpisah dari atap beton pesantren.
Aku teringat pesantren lamaku. Padahal, jika aku bersabar sedikit saja, setahun lagi aku akan lulus. Tidak perlu aku terdampar ke pesantren seperti ini. Itulah yang membuatku ingin menangis. Bisa dibayangkan, perjuanganku turun naik tangga setiap hari, meskipun hanya sekedar untuk ambil air minum dari dapur.
* * *
Inna ma’al ’usrin yusraa
Sesungguhnya dalam setiap kesusahan terdapat kemudahan.
Boleh saja aku kecewa dengan kondisi bangunan kelas dan asrama, tapi setidaknya aku telah mendapatkan teman baru yang bersahabat. Itu hikmahnya, dan itu yang harus aku tanamkan dalam benakku. Kepindahanku didu’akan oleh orang-orang baik, oleh orang tua, tentu aku akan mendapatkan tempat yang baik, meskipun awalnya terasa pahit.
"Purnomo."
Ketika aku dan ustadz Dzul menginjakkan kaki di atap pesantren, seorang santri berperawakan pendek tapi kekar memperkenalkan diri, maksudku ia lebih pendek dariku, tinggi badanku sendiri hanya seratus enam puluh lima sentimeter.
Kusambut tangan persahabatan itu sambil menyebutkan namaku. Telapak tangannya kasar, genggamannya kuat sekali, lebih kuat dari genggaman makhluk kurang ajar bernama Rais itu. Meskipun aku sudah berusaha berbesar hati menerima kondisi pesantren ini apa adanya, tetap saja merasa kesal pada Rais.
Santri bernama Purnomo itu meraih koper yang dibawa ustadz Dzul, lalu membawanya menuju satu kamar paling timur.
Ketika masuk kamar, kulihat santri berambut ikal gondrong sedang menulis di buku agendanya. Ia duduk di salah satu ranjang bagian atas. Perawakannya tinggi kurus, kulitnya tidak putih. Aku tidak berani menyebutnya hitam, karena aku baru mengenalnya. Ketika santri itu tersenyum padaku, gigi-gigi putihnya begitu kontras terlihat. Santri itu menutup buku agendanya, lalu menyodorkan tangannya dari atas ranjang padaku.
”Irvan.”
Berbeda sekali dengan Purnomo, telapak tangan santri bernama Irvan ini sedikit halus. Agaknya ia merawat kulitnya dengan baik, itu tampak dari hampir keseluruhan kulit tangannya yang bersih. Biar kutebak, dia itu pasti lelaki tipe romantis yang sedang jatuh cinta. Buku agenda yang ia pegang tadi, pasti bukan buku agenda untuk menulis materi pengajian seperti yang biasa kulakukan, tapi itu buku diary.
Pemandangan ganjil kulihat di dinding kamar, sebuah pedang menempel di sana, tepat di belakang Irvan. Pedang itu disangkutkan pada dua paku yang menancap di dinding. Pedang tidak bersarung itu panjangnya sekitar tujuh puluh lima sentimeter. Lekukan gagangnya begitu indah dengan ukiran sisik, sedangkan ujung gagangnya berbentuk kepala naga.
”Itu pedang Naga Puspa, Sep. Punyaku. Hanya koleksi saja.”
Jelas Purnomo.
Aku tebak, santri dengan pedang Naga Puspa itu pasti memiliki hobby berlatih beladiri, menyukai cerita dan film laga semacam Tutur Tinular, pedangnya saja diberi nama seperti nama pedang di cerita Tutur Tinular. Dua teman baruku itu, sangat kontras perbedaannya, yang satu bersenjatakan pulpen, satu lagi benar-benar senjata, pedang.
Sesuai keputusan ustadz Dzul tadi, aku mendapat bagian ranjang tidur bagian atas, seperti Irvan. Aku patuhi saja keputusan itu, meskipun sebenarnya aku ingin mendapatkan bagian bawah. Aku terbiasa tidur di ranjang pendek, bahkan lebih sering di lantai. Bisa dibayangkan jika aku terbangun tanpa menyadari aku sedang berada di ranjang atas.
Ranjang tepat di bawahku sebenarnya kosong. Awalnya aku enggan menanyakan tempat itu, tapi karena aku benar-benar ingin ranjang bagian bawah, akhirnya kutanyakan pada Purnomo.
”Oo, itu sudah ada, Iwan namanya.”
Aku tidak mau mengejar lagi dengan pertanyaan lainnya. Siapa Iwan itu sebenarnya, sedang apa sekarang, ora ngnya seperti apa, hitam atau putih kulitnya. Paling lambat, nanti sore pasti bertemu. Yang harus kulakukan segera adalah membereskan tempat tidur, menata barang-barang pribadiku di atas ranjang kayu.
Kuangkat tas ranselku, lalu kuletakkan di atas ranjang, lalu koper. Kuperlakukan koper tua ayah itu bagai barang keramat, hati-hati sekali aku meletakkannya. Aku tidak mau koper bersejarah milik ayah ini, rusak di tanganku. Aku naik ke atas ranjang. Di atas ranjang, kubongkar isi tas ransel yang berisi pakaian sehari-sehari, serta buku dan kitab pelajaran. Kutata buku dan kitab di sisi ranjang, begitu juga pakaian-pakaianku. Koper tua itu kujadikan lemari kecil, barang pribadi dan barang berharga kuletakkan di sana. Prihatin sekali aku dibuatnya.
”Sep, bajumu simpan di lemariku saja.”
Aku terharu dengan tawaran Purnowo. Aku jadi teringat kisah Muhajirin dan Anshar ketika para shahabat Muhajirin datang ke Madinah, para shahabat Anshar langsung menawarkan berbagi segala sesuatu yang dimiliki mereka dengan para Muhajirin. Tapi, sebagian besar Muhajirin menolak halus tawaran itu. Mereka ingin memulai segalanya dari awal tanpa menyusahkan saudaranya dari Anshar.
Anshar membuktikan tingkat kepedulian yang sangat tinggi, sedangkan Muhajirin membuktikan tingkat semangat yang kuat, tidak ingin tergantung pada orang lain.
Kuperhatikan posisi pakaian, buku dan koperku. Jika semua tetap pada posisi seperti itu, maka ranjangku tidak akan cukup untuk tidur. Jika kuletakkan sebagian pakaianku di lemari Purnomo, aku akan merasa tidak nyaman setiap kali membuka lemarinya. Aku khawatir di dalam lemarinya terdapat barang pribadi yang tidak ingin diketahui orang lain, termasuk aku.
”Terima kasih, Kang.”
Biarlah ranjang kayuku berfungsi sebagai lemari pakaian dan buku, sedangkan tidur, aku sudah terbiasa tidur di lantai, masjid, atau di kelas pun bisa. Pengalaman camping di Galunggung membuatku mudah dalam menyesuaikan kondisi.
* * *