Jumat, 01 Juli 2016

Para Bintang Kelas

Ayah baru datang bertepatan dengan Kyai Haji Ahmad Zarkasyi kembali ke tempat duduknya. Kasihan ayah, ia datang jauh-jauh sebenarnya ingin mendengarkan ceramah ulama idolanya. Ceramah untuk melepas putranya setelah lulus dari pesantren. Aku pun tidak mungkin bisa menyampaikan ulang isi ceramah dari Kyai kharismatik itu.
Ayah tidak segera masuk bergabung dengan wali santri lain yang sudah berada di dalam ruangan. Ayah masih berdiri di depan pintu, menatap satu persatu santri yang berada di ruangan, mencariku. Ayah terlihat gembira begitu melihatku, hanya beberapa detik, lalu berubah sedih. Aku segera menghampirinya, lalu kukecup lembut tangan kasarnya.
Bapa naik apa ke sini?”
Aku berharap Ayah menjawab pertanyaanku dengan ‘naik bis’. Tapi tidak mungkin, karena jika naik bis, tentunya Ayah akan sampai ke Garut sekitar jam 11 siang, karena jadwal bis dari Tasikmalaya ke Garut tidak ada yang berangkat pagi-pagi sekali.
“Motor vespa.”
Ayah pasti ngebut dengan vespa bututnya itu, agar bisa sampai gedung ini lebih cepat, supaya bisa mendengarkan ceramah Kyai Haji Ahmad Zarkasyi.
“Tadi nyasar-nyasar nyari gedung ini.”
Ayah terlihat kecewa. Tapi, memang wajar jika nyasar, karena gedung yang kami sewa ini agak terpencil di pinggiran kota Garut.
Aku segera mengajak Ayah masuk gedung, untuk bergabung dengan wali santri lain yang sudah berada di dalam. Tapi ia segera meraih tanganku, lalu menahan tanganku agar aku tidak beranjak dari tempatku. Ayah lalu menuntunku beberapa langkah menjauh dari pintu, hingga suara ramai di dalam gedung terdengar sayup-sayup.
“Ada apa, Pa?”
Ayah terdiam. Agaknya ia bingung untuk memulai pembicaraan. Ayah melepas tanganku. Lalu, setelah beberapa detik, akhirnya ayah angkat bicara lagi, diawali dengan menghirup nafas dalam-dalam lalu melepasnya perlahan.
“Ini tentang mamang mu.”
Aku tersentak gembira. Kabar tentang Paman selalu kutunggu-tunggu sejak surat terakhirnya dua tahun yang lalu.
Mang Akim?”
Ayah mengangguk, ia tersenyum, tapi rapuh. Ada rasa sedih di sana yang menyertai senyumnya. Kupasang indera pendengarku kuat-kuat. Jika menyangkut kabar tentang Paman, aku siap mengorbankan seluruh waktuku untuk mendengarkan kabar itu, termasuk hari bersejarahku ini.
Tidak banyak yang Ayah ceritakan tentang Paman. Hanya beberapa kalimat saja. Tapi cukup mewakili semua inti kabar yang harus kuterima. Setelah selesai Ayah bicara, aku terdiam, mematung di tempatku berdiri. Ayah pun tidak bicara apa-apa lagi, membiarkanku terhanyut dalam rasa yang tidak menentu.
Aku masih belum bisa mencerna sepenuhnya kabar dari Ayah. Begadang membuatku merasa berada di antara kehidupan nyata dan mimpi. Aku berharap kabar dari Ayah hanyalah mimpi.
“......penghargaan untuk bintang kelas!!!”
Sayup-sayup kudengar pengumuman dari pengeras suara menyentakkan kami berdua. Dulu, sebelum aku pindah, acara pemberian penghargaan bintang kelas sudah menjadi acara langganan kami. Ayah akan hadir dengan mengenakan baju terbaiknya, sedangkan aku tetap dengan seragam sekolah. Lima tahun berturut-turut namaku dan nama Ayah selalu dipanggil untuk menerima penghargaan ini. Penghargaan bintang kelas urutan pertama. Ayah tersenyum waktu itu, senyum gugupnya. Rasa gembira dan bangga atas semua yang kuraih. Tapi, karena Ayah tidak terbiasa dilihat orang banyak, badan Ayah selalu terlihat gemetar ketika menerima piagam penghargaan.
Biasanya, pemberian penghargaan dilakukan bersamaan dengan pembagian raport. Maka, jadilah moment ini adalah acara paling mendebarkan dalam hidupku. Adrenalinku berpacu kencang, jantungku berdetak keras. Aku dilanda kekhawatiran dan tekanan yang sangat dahsyat. Khawatir peringkatku turun. Sekarang, rasa itu berkurang, bahkan hampir tidak ada, detak jantungku normal, kekhawatiran dan tekanan hampir tidak ada. Meskipun aku masih mengharapkan menempati peringkat bintang kelas di pesantren terkenal ini, setidaknya urutan ketiga, sudah cukup.
”Ayo, Sep!”
Ayah mengajakku untuk segera masuk ruangan, bergabung dengan seluruh tamu undangan, untuk menanti pengumuman para bintang kelas.
Pa,”
Kali ini aku yang meraih tangan ayah, menahannya agar tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
”Maafkan Asep, Pa,”
Ayah terlihat bingung. Ia belum mengerti ucapanku.
”Asep mungkin tidak jadi juara kelas lagi.”
Sejujurnya, aku tidak yakin bisa menjadi bagian dari para bintang kelas, meskipun hanya peringkat ketiga. Semester kelima, aku hanya mampu meraih ranking tiga dari santri putra. Semester terakhir ini persaingan semakin ketat, karena penilaian meliputi seluruh santri putra dan putri. Menurut kabar, ada beberapa orang santri putri yang sangat cerdas. Nurrahman Zaki saja tidak ada apa-apanya dibanding mereka, apalagi Aku.
”Tidak apa-apa, Sep,”
Ayah tersenyum sambil menepuk pundakku.
”Ranking tidak penting bagi Bapa, yang penting Asep lulus.”
Lega rasanya mendengar ucapan ayah. Tapi aku merasa berdosa pada Ayah dan Ibu. Seandainya mereka tahu semua yang telah kulakukan selama semester terakhir ini. Kuakui, aku kurang serius belajar lagi dalam menghadapi ujian akhir. Aku malah sibuk dengan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Tapi aku yakin, semua yang kulakukan itu demi masa depanku.
Kami berjalan masuk gedung, lalu kami berpisah ketika Ayah menuju deretan kursi yang disediakan untuk wali santri di barisan tengah, sedangkan aku kembali menemani Irfan di pojok belakang yang masih terkantuk-kantuk.
Para bintang kelas akan segera diumumkan. Wali kelas kami, ustadz Mulyawan sudah naik ke atas panggung. Dengan gayanya yang santai dan senyum khasnya ia membuka selembar amplop.
Kupejamkan mata, berdo’a, mengharapkan keajaiban. Berharap ada kesalahan ketik hingga namaku tercantum di sana. Aku masih berharap menjadi bagian dari bintang kelas. Aku hanya ingin menyenangkan Ayah, memberikan kejutan padanya. Aku hanya ingin melihat kembali senyumnya ketika menerima piagam penghargaan untukku. Aku rindu ketika badan Ayah gemetar karena senang bercampur gugup dilihat banyak orang. Aku rindu moment itu.
”Ranking ketigaaaaa...”
Suara ustadz Mulyawan terdengar lantang. Suasana hening, sengaja ia menahan ucapannya untuk mendramatisasi keadaan. Aku reflek menahan nafas.
”Nurrahman Zakiiii!”
Terdengar riuh tepuk tangan untuk temanku yang jenius itu. Nurrahman naik ke panggung, ayahnya pun dipanggil untuk menerima penghargaan. Tepuk tangan semakin riuh ketika Nurrahman Zaki menerima beberapa bingkisan hadiah.
Kuhela nafas perlahan, melepas beban berat yang ada di dada. Jika Nurrahman Zaki ranking tiga, berarti tidak ada tempat bagiku lagi. Karena posisi selanjutnya sudah pasti ditempati oleh santri-santri putri yang cerdas itu. Dugaanku benar, posisi pertama dan kedua ditempati santri putri.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar