Sabtu, 02 Juli 2016

Kuntum Khairu Ummah

Selepas shalat shubuh, Aku dan Irvan langsung tertidur pulas di kamar. Sesuai pesan kami, jam setengah tujuh Iwan membangunkan kami. Efek begadang sudah mulai terasa begitu aku bangun, pening. Aku duduk di bibir ranjang kayu, mengumpulkan kekuatan untuk berdiri, beberapa kali aku menguap. Sedangkan Irvan sudah pergi keluar membawa handuk dan alat mandi. Hebat, baginya begadang satu malam sedikitpun tidak berpengaruh apa-apa.
Begitu kulangkahkan kaki keluar kamar, rasa pening kian menjadi, disertai sinar yang sangat menyilaukan mata, rasa haus semakin kuat, kulit serasa terbakar. Aku langsung menutup kepalaku dengan handuk untuk menghindari sinar matahari. Mungkin begini rasanya jadi Vampire. Efek begadang nomor dua, ini baru permulaan.
Di luar, Iwan dan Purnowo bergantian berdiri di depan cermin besar, mereka sudah siap berangkat dengan pakaian seragam, baju putih dan celana krem, dan khusus hari bersejarah ini, kami memiliki jas almamater warna krem, dengan logo almamater kebanggaan kami terpasang di dada kiri, warna kuning dengan dasar hijau tua. Mereka berdua terlihat gagah.
Iwan, rambut sampingnya dicukur tipis, rambut tengahnya klimis tapi tetap saja berdiri seperti biasa, ada sedikit kilatan ketika terkena sinar matahari. Agaknya ia sudah mengikuti saranku untuk menggunakan minyak rambut, entah Lavender atau Orang-Aring, aku harap bukan minyak jelantah. Sebenarnya bisa kuketahui dari baunya. Tapi aku malas untuk mencium bau minyak rambutnya.
Sedangkan Purnomo terlihat sangat necis, setiap sudut pakaian terlihat sangat runcing, terutama celananya. Ia memang ahlinya dalam menyeterika pakaian. Aku banyak belajar teknik menyeterika pakaian darinya. Taufik, Harits dan Rais sudah pergi lebih dahulu ke gedung. Sementara Zaki baru bangun sama sepertiku.
Purnomo, Taufik, Rais dan teman-temanku yang lain tidak begadang seperti yang kami lakukan. Tugas mereka sudah selesai sejak jam sepuluh malam, selanjutnya mereka hanya menunggu hasil kerjaan kami. Di sela-sela waktu itu pasti mereka masih sempat untuk tidur sekedar tiga sampai empat jam bergantian. Karena itu, di pagi yang seharusnya indah bagiku ini, mereka masih terlihat segar.
Ketika selintas kulirik cermin besar di luar, kulihat wajahku sama seperti Iwan, sama-sama muka bantal, tapi bedanya mukaku pucat, kurang darah, efek begadang, sedangkan Iwan memang sudah dari sananya begitu. Sekali lagi aku kagum sama bang Rhoma, kupikir jangan-jangan ia mantan dokter, atau punya saudara dokter, atau temannya seorang  dokter, tapi prasangkaku yang paling ekstrem di otakku adalah jangan-jangan Pak Haji ini tukang begadang.
* * *

Jam 09.00 WIB. Acara sudah dimulai ketika aku, Irvan dan Zaki memasuki gedung Wiyataloka, tempat acara kelulusan itu berlangsung. Enggak ada yang peduli pada kami yang datang belakangan, karena semua mata tertuju pada karya kami di atas panggung, itu versi otakku dan Irvan. Tapi versi sebenarnya, seluruh pandangan tertuju pada pembawa acara yang sedang membacakan agenda acara perpisahan.
Zaki langsung berbaur dengan santri lainnya di barisan tengah. Sementara aku dan Irvan langsung mengambil tempat duduk paling pojok di belakang. Tidak ada santri yang duduk di barisan depan, karena kursi barisan depan hingga tengah, memang disiapkan untuk wali santri. Sedangkan kursi barisan tengah sampai belakang, disiapkan untuk para santri yang merayakan kelulusan.
Ayah belum tampak. Ayah akan tiba di gedung ini kira-kira jam 10 siang. Paling cepat, jika perjalanan lancar. Sebagian besar para wali santri yang berasal dari luar kota Garut sudah tiba sejak kemarin. Sebagian menginap di asrama, atau tempat kost putranya, bahkan bagi yang berdompet tebal, mereka bermalam di penginapan kota Garut. Sedangkan Ayah tidak, ia memilih berangkat pagi-pagi sekali, karena jarak antara Tasikmalaya Garut bisa ditempuh dalam dua setengah jam.
"Pojok ruangan adalah tempat paling strategis bagi yang sedang merasakan efek begadang." Bisik Irvan padaku. Aku manut saja pada master of begadang ini.
Aku mulai mengantuk, mataku mulai perih dan panas, lalu terasa berair, tapi kupaksakan untuk terus melihat ke depan, ke atas panggung. Jangan berpasangka baik dulu, aku bukan peduli pada pembaca acara yang suaranya mulai sayup-sayup, aku hanya peduli pada karyaku di atas panggung sana. Indah, karya yang sangat indah. Betul kata Irvan, jika kaligrafi Latin dan Arab dipadu, maka akan terlihat sangat indah.
Kueja satu persatu kaligrafi itu dari atas hingga bawah. Ketika melewati kaligrafi Arab, mataku langsung terbelalak. Kusikut bahu Irvan yang mulai terkantuk-kantuk.
"Ada apa Sep?"
"Van, lihat ke depan!"
Ia mengikuti perintahku, matanya sayu melihat ke depan, warnanya agak keruh, mungkin sama sepertiku. Efek dahsyat begadang kelima sudah menanti.
"Kaligrafi Arabnya ada yang salah." bisikku.
Mata Irfan seketika terbelalak, bahkan badannya tersentak kaget, badannya tegak dari senderan kursi, lalu berdiri untuk membaca lebih jelas kaligrafi Arab. Meskipun kaligrafi itu karyaku, tapi ia tetap merasa bertanggung jawab atas hasilnya, karena ia adalah pimpinan dan pemegang licence proyek sukarela ini. Baik buruknya proyek ini akan berpengaruh pada reputasinya sebagai tukang dekorasi.
Reaksi tadi hanya sebentar, matanya kembali sayu, siap-siap kembali untuk tidur.
"Tenang saja Sep, tidak akan ada yang tahu."
Ia bicara dengan mata tertutup, mulutnya tersenyum, menyebalkan. Ia tidak mau tahu perasaanku. Mau kutaruh di mana mukaku. Meskipun ia yang bertanggung jawab, tapi hampir semua orang tahu, kaligrafi itu adalah karyaku. Ini acara bersejarah, akan terekam di photo-photo perpisahan teman-temanku.
Kubaca kembali kaligrafi itu.
'Kuntum khaira ummah, ukhrijat..'
Ini letak kesalahannya, seharusnya titik huruf jim itu dibawah, aku malah menaruhnya di atas, menjadi huruf kha. seharusnya dibaca ukhrijat menjadi ukhrikhat. Dalam huruf Arab, salah titik akan berakibat arti yang jauh sekali.
Kubaca ulang kaligrafi itu. Irvan benar, tidak akan ada yang tahu kesalahan itu. Irvan memang pintar memilih jenis huruf. Seperti yang pernah kubilang, kaligrafi gaya Farisi agak sulit dibaca, hanya orang yang mengerti kaidah penulisan kaligrafi Arab saja yang bisa membaca khat jenis ini. Sehingga tidak akan ketahuan jika terjadi kekeliruan. Benar-benar pilihan yang tepat.
Semoga Allah memaafkan kekhilafanku dan Irvan. Sedekitpun aku tidak bermaksud meletakkan titik itu di atas.
Aku bisa bernafas lega sekarang. Kyai Haji Ahmad Zarkasyi sudah naik ke atas panggung, dengan gaya khasnya ia memulai ceramah perpisahannya yang bertema. "Kalian adalah ummat terbaik". Kalian itu kami, kami adalah ummat terbaik. Sebuah harapan agung dari para pendidik yang akan melepas anak didiknya untuk terjun langsung ke medan dakwah sesungguhnya. Sebuah semangat yang membakar jiwa kami untuk selalu berusaha menjadi ummat terbaik. Sebuah permintaan dari mereka agar kami tidak mengecewakan almamater kami.
Aku tersenyum dengan air mata menetes di pipi. Aku puas, aku menyesal, aku bangga, aku sedih, aku bahagia, aku haru, aku ..... semua rasa memenuhi rongga dadaku. Kupejamkan mataku sesaat untuk menikmati seluruh asa ini. Lalu tiba-tiba,
"Prok! Prok! Prok! Prok! Prok!"
"Suiiiit!! Suiiiit!! Suiiiiiiiiiiiiit!!"
Suara tepuk tangan riuh memenuhi gedung ini, diselingi suitan yang sangat kencang beberapa kali. Aku tahu, itu pasti suitan salah seorang mantan gank Rekayazaa. Bisa saja Rais, Taufik, John, atau Harits. Semua orang berdiri.
Kyai Haji Ahmad Zarkasyi sedang turun dari podium. Aku bingung, gelagapan, belum tahu apa yang sedang terjadi. Padahal baru saja Kyai Haji Ahmad Zarkasyi membaca prolog, kenapa tiba-tiba saja sudah turun kembali. Tumben sekali beliau berpidato sangat singkat. Biasanya beliau sanggup membakar semangat kami lebih dari satu jam. Kulirik Irvan, ia juga baru terbangun ketika mendengar tepukan dan suitan kencang itu.
Aku sadar, aku telah kehilangan moment paling berharga dalam hidupku. Satu ceramah dari seorang penggelora semangat, khotbah wada' bagi kami yang akan meninggalkan almamater, petuah orang tua untuk anak-anaknya. Aku menitikkan air mata, ingin kutersedu, tapi malu. Siaallll. Semua itu gara-gara begadang.
Kesimpulanku sementara. Begadang semalam suntuk mempunyai efek berikut :
- Kepala pening, muka pucat seperti kurang darah, sebagaimana bang Haji Rhoma Irama tulis dalam lagunya.
- Jadi setengah Vampire, tidak kuat terkena sinar matahari.
- Minder, maunya mojok di belakang.
- Mata panas dan perih.
- Salah naruh titik huruf jim.
- Ketinggalan ceramah penting karena tertidur.
Kelak, jika aku menjadi pencipta lagu seperti bang Haji, aku akan memasukkan point-point di atas dalam lagu-laguku. Dengan catatan, aku tidak akan menyanyikan lagu ciptaanku, karena suaraku fals.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar