Selepas shalat shubuh, Aku dan Irvan langsung tertidur pulas di kamar.
Sesuai pesan kami, jam setengah tujuh Iwan membangunkan kami. Efek begadang
sudah mulai terasa begitu aku bangun, pening. Aku duduk di bibir ranjang kayu,
mengumpulkan kekuatan untuk berdiri, beberapa kali aku menguap. Sedangkan Irvan
sudah pergi keluar membawa handuk dan alat mandi. Hebat, baginya begadang satu
malam sedikitpun tidak berpengaruh apa-apa.
Begitu kulangkahkan kaki keluar kamar, rasa pening kian menjadi, disertai
sinar yang sangat menyilaukan mata, rasa haus semakin kuat, kulit serasa
terbakar. Aku langsung menutup kepalaku dengan handuk untuk menghindari sinar
matahari. Mungkin begini rasanya jadi Vampire. Efek begadang nomor dua,
ini baru permulaan.
Di luar, Iwan dan Purnowo bergantian berdiri di depan cermin besar, mereka
sudah siap berangkat dengan pakaian seragam, baju putih dan celana krem, dan
khusus hari bersejarah ini, kami memiliki jas almamater warna krem, dengan logo
almamater kebanggaan kami terpasang di dada kiri, warna kuning dengan dasar
hijau tua. Mereka berdua terlihat gagah.
Iwan, rambut sampingnya dicukur tipis, rambut tengahnya klimis tapi tetap
saja berdiri seperti biasa, ada sedikit kilatan ketika terkena sinar matahari.
Agaknya ia sudah mengikuti saranku untuk menggunakan minyak rambut, entah
Lavender atau Orang-Aring, aku harap bukan minyak jelantah. Sebenarnya bisa
kuketahui dari baunya. Tapi aku malas untuk mencium bau minyak rambutnya.
Sedangkan Purnomo terlihat sangat necis, setiap sudut pakaian terlihat
sangat runcing, terutama celananya. Ia memang ahlinya dalam menyeterika
pakaian. Aku banyak belajar teknik menyeterika pakaian darinya. Taufik, Harits
dan Rais sudah pergi lebih dahulu ke gedung. Sementara Zaki baru bangun sama
sepertiku.
Purnomo, Taufik, Rais dan teman-temanku yang lain tidak begadang seperti
yang kami lakukan. Tugas mereka sudah selesai sejak jam sepuluh malam,
selanjutnya mereka hanya menunggu hasil kerjaan kami. Di sela-sela waktu itu
pasti mereka masih sempat untuk tidur sekedar tiga sampai empat jam bergantian.
Karena itu, di pagi yang seharusnya indah bagiku ini, mereka masih terlihat
segar.
Ketika selintas kulirik cermin besar di luar, kulihat wajahku sama seperti
Iwan, sama-sama muka bantal, tapi bedanya mukaku pucat, kurang darah, efek
begadang, sedangkan Iwan memang sudah dari sananya begitu. Sekali lagi aku
kagum sama bang Rhoma, kupikir jangan-jangan ia mantan dokter, atau punya
saudara dokter, atau temannya seorang
dokter, tapi prasangkaku yang paling ekstrem di otakku adalah
jangan-jangan Pak Haji ini tukang begadang.
* * *
Jam 09.00 WIB. Acara sudah dimulai ketika aku, Irvan dan Zaki memasuki
gedung Wiyataloka, tempat acara kelulusan itu berlangsung. Enggak ada yang
peduli pada kami yang datang belakangan, karena semua mata tertuju pada karya
kami di atas panggung, itu versi otakku dan Irvan. Tapi versi sebenarnya,
seluruh pandangan tertuju pada pembawa acara yang sedang membacakan agenda
acara perpisahan.
Zaki langsung berbaur dengan santri lainnya di barisan tengah. Sementara aku
dan Irvan langsung mengambil tempat duduk paling pojok di belakang. Tidak ada
santri yang duduk di barisan depan, karena kursi barisan depan hingga tengah, memang
disiapkan untuk wali santri. Sedangkan kursi barisan tengah sampai belakang,
disiapkan untuk para santri yang merayakan kelulusan.
Ayah belum tampak. Ayah akan tiba di gedung ini kira-kira jam 10 siang.
Paling cepat, jika perjalanan lancar. Sebagian besar para wali santri yang
berasal dari luar kota Garut sudah tiba sejak kemarin. Sebagian menginap di
asrama, atau tempat kost putranya, bahkan bagi yang berdompet tebal, mereka bermalam
di penginapan kota Garut. Sedangkan Ayah tidak, ia memilih berangkat pagi-pagi sekali,
karena jarak antara Tasikmalaya Garut bisa ditempuh dalam dua setengah jam.
"Pojok ruangan adalah tempat paling strategis bagi yang sedang
merasakan efek begadang." Bisik Irvan padaku. Aku manut saja pada master
of begadang ini.
Aku mulai mengantuk, mataku mulai perih dan panas, lalu terasa berair, tapi
kupaksakan untuk terus melihat ke depan, ke atas panggung. Jangan berpasangka
baik dulu, aku bukan peduli pada pembaca acara yang suaranya mulai sayup-sayup,
aku hanya peduli pada karyaku di atas panggung sana. Indah, karya yang sangat
indah. Betul kata Irvan, jika kaligrafi Latin dan Arab dipadu, maka akan
terlihat sangat indah.
Kueja satu persatu kaligrafi itu dari atas hingga bawah. Ketika melewati
kaligrafi Arab, mataku langsung terbelalak. Kusikut bahu Irvan yang mulai
terkantuk-kantuk.
"Ada apa Sep?"
"Van, lihat ke depan!"
Ia mengikuti perintahku, matanya sayu melihat ke depan, warnanya agak
keruh, mungkin sama sepertiku. Efek dahsyat begadang kelima sudah menanti.
"Kaligrafi Arabnya ada yang salah." bisikku.
Mata Irfan seketika terbelalak, bahkan badannya tersentak kaget, badannya
tegak dari senderan kursi, lalu berdiri untuk membaca lebih jelas kaligrafi
Arab. Meskipun kaligrafi itu karyaku, tapi ia tetap merasa bertanggung jawab
atas hasilnya, karena ia adalah pimpinan dan pemegang licence proyek sukarela ini. Baik buruknya proyek ini akan
berpengaruh pada reputasinya sebagai tukang dekorasi.
Reaksi tadi hanya sebentar, matanya kembali sayu, siap-siap kembali untuk
tidur.
"Tenang saja Sep, tidak akan ada yang tahu."
Ia bicara dengan mata tertutup, mulutnya tersenyum, menyebalkan. Ia tidak mau tahu perasaanku. Mau kutaruh
di mana mukaku. Meskipun ia yang bertanggung jawab, tapi hampir semua orang
tahu, kaligrafi itu adalah karyaku. Ini acara bersejarah, akan terekam di
photo-photo perpisahan teman-temanku.
Kubaca kembali kaligrafi itu.
'Kuntum khaira ummah, ukhrijat..'
Ini letak kesalahannya, seharusnya titik huruf jim itu dibawah, aku
malah menaruhnya di atas, menjadi huruf kha. seharusnya dibaca ukhrijat
menjadi ukhrikhat. Dalam huruf Arab, salah titik akan berakibat arti
yang jauh sekali.
Kubaca ulang kaligrafi itu. Irvan benar, tidak akan ada yang tahu kesalahan
itu. Irvan memang pintar memilih jenis huruf. Seperti yang pernah kubilang,
kaligrafi gaya Farisi agak sulit dibaca, hanya orang yang mengerti
kaidah penulisan kaligrafi Arab saja yang bisa membaca khat jenis ini. Sehingga
tidak akan ketahuan jika terjadi kekeliruan. Benar-benar pilihan yang tepat.
Semoga Allah memaafkan kekhilafanku dan Irvan. Sedekitpun aku tidak
bermaksud meletakkan titik itu di atas.
Aku bisa bernafas lega sekarang. Kyai Haji Ahmad Zarkasyi sudah naik ke
atas panggung, dengan gaya khasnya ia memulai ceramah perpisahannya yang
bertema. "Kalian adalah
ummat terbaik". Kalian itu kami, kami adalah ummat terbaik. Sebuah harapan
agung dari para pendidik yang akan melepas anak didiknya untuk terjun langsung
ke medan dakwah sesungguhnya. Sebuah semangat yang membakar jiwa kami untuk
selalu berusaha menjadi ummat terbaik. Sebuah permintaan dari mereka agar kami
tidak mengecewakan almamater kami.
Aku tersenyum dengan air mata menetes di pipi. Aku puas, aku menyesal, aku
bangga, aku sedih, aku bahagia, aku haru, aku ..... semua rasa memenuhi rongga
dadaku. Kupejamkan mataku sesaat untuk menikmati seluruh asa ini. Lalu
tiba-tiba,
"Prok! Prok!
Prok! Prok! Prok!"
"Suiiiit!!
Suiiiit!! Suiiiiiiiiiiiiit!!"
Suara tepuk tangan
riuh memenuhi gedung ini, diselingi suitan yang sangat kencang beberapa kali. Aku tahu, itu pasti suitan salah seorang
mantan gank Rekayazaa. Bisa saja Rais, Taufik, John, atau Harits. Semua orang
berdiri.
Kyai Haji Ahmad Zarkasyi sedang turun dari podium. Aku
bingung, gelagapan, belum tahu apa yang sedang terjadi. Padahal baru saja Kyai Haji Ahmad Zarkasyi membaca prolog, kenapa tiba-tiba
saja sudah turun kembali. Tumben sekali beliau berpidato sangat singkat.
Biasanya beliau sanggup membakar semangat kami lebih dari satu jam. Kulirik
Irvan, ia juga baru terbangun ketika mendengar tepukan dan suitan kencang itu.
Aku sadar, aku telah kehilangan moment paling berharga dalam hidupku. Satu
ceramah dari seorang penggelora semangat, khotbah wada' bagi kami yang akan
meninggalkan almamater, petuah orang tua untuk anak-anaknya. Aku menitikkan air mata, ingin kutersedu,
tapi malu. Siaallll. Semua itu gara-gara begadang.
Kesimpulanku sementara. Begadang semalam suntuk mempunyai efek berikut :
- Kepala pening, muka pucat seperti kurang darah, sebagaimana bang Haji
Rhoma Irama tulis dalam lagunya.
- Jadi setengah Vampire, tidak kuat terkena sinar matahari.
- Minder, maunya mojok di belakang.
- Mata panas dan perih.
- Salah naruh titik huruf jim.
- Ketinggalan ceramah penting karena tertidur.
Kelak, jika aku menjadi pencipta lagu seperti bang Haji, aku akan
memasukkan point-point di atas dalam lagu-laguku. Dengan catatan, aku tidak
akan menyanyikan lagu ciptaanku, karena suaraku fals.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar