Menurut penuturan Iwan, sejak maghrib sampai isya listrik di asrama
gedung A tiga kali padam. Aku tidak tahu itu, karena pada rentang waktu itu aku
sedang berada di masjid. Mengaji.
“Ini tidak seperlti biasanya, Sep.”
“Mungkin ada yang korsleting
listrik.”
Iwan tidak memperpanjang obrolan itu, penjelasanku sepertinya masuk
akal. Tapi, sepertinya ada yang ia tutupi. Aku meneruskan membaca kitab bulughul maram.
“Masalahnya, lampu itu justelru mati setiap aku ke kamalr mandi.”
“Kok bisa begitu?”
Aku mulai tertarik pengaduan Iwan. Aku lebih cepat akrab dengannya
dibanding santri lain di kamarku. Benar kata orang-orang tua, orang cadel,
orang yang tidak bisa mengucapkan huruf ‘R’ dengan benar, biasanya lebih supel
daripada orang berlidah sempurna, merekapun lebih mudah diterima oleh orang
sekitarnya.
“Aku tidak tau. Justelru itu yang ingin kuselidiki.”
Jika lampu gedung A mati, itu artinya satu blok gedung itu mati, mulai
dari lantai Negeri Atas Awan, lantai dua di bawahnya yang terdiri dari dua
ruang asrama serta beberapa kelas, lalu lantai paling bawah, kamar mandi, dapur
umum, dan beberapa kelas. Jika lampu mati pada malam hari, tidak bisa
kubayangkan gelapnya kamar mandi itu, siang hari saja kadang memerlukan lampu
penerangan.
“Aku bukan takut gelap, Sep. Aku cuma tidak bisa sendirian di tempat
gelap.”
Tapi, dari ceritanya kemudian, Iwan memiliki trauma psikis masa kecil
yang masih membekas. Ia pernah dikurung di tempat gelap, bukan cuma itu, ia
ditakut-takuti dengan suara-suara yang menakutkan, hingga pingsan. Tega sekali
orang yang melakukan itu pada makhluk berwajah innocent ini. Seharusnya Iwan ditemani sewaktu dikurung itu.
“Aku jadi culriga.”
Iwan terlihat serius.
“Curiga? Curiga sama siapa?”
“Duo Jail itu.”
“Duo Jail? Siapa?”
“Taufik dan Rais.”
Iwan setengah berbisik.
“Taufik dan Rais?”
Iwan mengangguk. Ia tergesa-gesa menuju pintu kamar, memeriksa jika ada
orang di luar. Agaknya ia khawatir orang yang sedang dibicarakannya berada di
luar.
Aku baru tahu ada panggilan khusus untuk dua orang itu. Duo Jail. Brand unik dan menjual. Kalau Rais
tukang jail, itu sudah pasti. Makhluk kurus kering itulah yang patut diminta
pertanggungjawaban atas kepindahanku ke pesantren ini.
Jika Taufik tukang jail juga, aku baru tahu, karena aku belum pernah
dijailinya. Rasanya tidak mungkin santri keren itu suka jail. Taufik yang
kukenal adalah santri ramah yang sangat menggilai si bola bundar, santri yang
sering bolos di hari minggu.
Pasti ada yang salah dengan mata Iwan yang suka merem ketika tertawa
itu. Kusampaikan pendapatku tentang Taufik pada Iwan.
“Justelru dia biangnya!”
“Maksudnya?”
“Si klriwil itu biangnya, si ceking tinggi itu yang selalu punya ide
jail. Sedangkan si Lrais hanya ikut-ikutan saja!”
“Tidak terbalik, Wan?”
“Maksudmu?”
Kuceritakan pertemuanku dengan makhluk penghuni kawah gunung Galunggung
bernama Raisul Balad itu, hingga akhirnya aku memutuskan pindah ke Garut.
Detil, tidak ada yang terlewat sedikitpun.
“Bukan! si Taufik biangnya!”
“Rais, wan!”
“Taufik, Sep!”
“Pendapatmu itu akan belrubah jika kau dengalr kisahku.”
“Tidak mungkin!”
Mengalirlah cerita kejailan-kejailan Taufik dari mulut Iwan yang hampir
berbusa itu. Ada satu kejadian yang tidak pernah bisa ia lupakan, tragedi makan
malam bersama ketika camping di pasir
putih.
Mari kuceritakan tragedi itu menurut versiku, karena agaknya Iwan tidak
pandai bercerita, ia pun selalu berusaha menghindari huruf ‘R’. Aku sempat
dibuat pusing ketika mencerna kisah tanpa huruf ‘R’ itu. Percayalah, versiku
ini tidak akan mengubah esensi sebenarnya dari kisah Iwan.
Jam delapan malam di Pasir Putih. Malam itu begitu dingin, gelap, sepi,
senyap, lalu perut pun terasa keroncongan. Kira-kira prolognya seperti itu. Di
bawah cahaya lampu damar yang temaram, nasi liwet
dan mie goreng terhidang di atas selembar daun pisang, siap disantap. Makan
malam dimulai tanpa tembakan start atau tembakan salvo, hanya sebaris dua dari
santri-santri yang kelaparan. Di tengah acara makan malam itu, tiba-tiba lampu
damar mati, seketika gelap. Lalu terasa seperti ada benda-benda berjatuhan dari
langit, tepat ke atas hidangan. Karena perut sudah terlanjur sangat lapar,
makan malam pun dilanjutkan. Cuma beberapa detik kemudian, terdengar teriakan
di beberapa titik lokasi makan malam.
“Air! Waduh! pedas! Kurang ajar! Kalakuan
saha ieu!”
Ternyata benda yang berjatuhan dari langit itu adalah cabe rawit yang
jumlahnya ratusan. Rais tidak ikut pada acara camping itu, Iwan pun tidak percaya itu perbuatan iseng para alien.
Berarti pelaku utamanya cuma satu orang.
“Taufik!”
“Rais!”
“Taufik, Sep!”
“Rais, Wan!”
“...........!”
“...........!”
Perdebatan tentang duo jail itu berakhir juga. Kami sepakat duo jail itu
berdiri sendiri, masing-masing dari mereka bertindak sebagai konseptor
sekaligus pelaksana. Satu sama lain tidak saling membutuhkan, mereka beroperasi
masing-masing. Tapi, jika mereka bersatu, maka kejailan mereka akan semakin
hebat, mereka akan memiliki alibi sempurna ketika sedang diintrogasi.
Psikopat!.
“Kamu musti hati-hati, Sep!”
“Kamu juga, Wan!”
* * *
Malam terus berlanjut, sama sekali tidak peduli dengan cerita Iwan
tentang matinya listrik hingga tiga kali itu. Untungnya, listrik tampaknya tahu
diri, sejak kami membicarakannya awal malam tadi, ia tidak pernah mati lagi.
Sementara itu Iwan masih tetap yakin, kematian listrik itu pasti ada
hubungannya dengan duo iseng. Iwan itu memang keras kepala.
Dalam perbincangan tadi, sebenarnya ada yang luput dari pertanyaanku,
aku tidak bisa menebak alasan Iwan tiga kali bolak balik ke kamar mandi dalam
tempo satu jam. Itu urusan Iwan!
Jam sebelas malam.
Udara dingin membuatku ingin buang air kecil. Aku turun dari ranjang
kayu bagian atas itu, gerakanku membuat ranjang kayu itu berderit-derit, suara
itu membangunkan Iwan yang biasanya tertidur pulas. Agaknya kejadian tadi
membuat tidurnya tidak nyenyak.
“Hati-hati, Sep!”
“Hmm!”
Aku membalasnya dengan gumaman singkat. Peristiwa di masa kecilnya itu
benar-benar membuatnya paranoid.
Ketika aku melewati kamar tempat bercokolnya duo iseng itu, kusempatkan
melirik kamar itu. Gelap, seperti kamarku. Tidak ada aktifitas mencurigakan di
sana. Seperti biasa, kusempatkan melihat pintu hijau muda di kejauhan sana.
Sama, tidak ada pergerakan di sana. Sepi.
Keperluan mendesak harus segera ditunaikan. Kuturuni tangga. Di lantai
dua kusempatkan melihat meteran listrik, sumber listrik blok gedung A. Di
sanapun tidak ada yang mencurigakan. Jika Taufik atau Rais pelaku pemadaman
listrik itu, maka mereka harus turun ke lantai dua. Sekarang mereka sudah
tertidur pulas. Jika mereka turun di malam yang sepi ini, suara langkah kaki
mereka pasti akan jelas terdengar hingga kamar mandi di bawah. Jika mereka
pelakunya akan beresiko ketahuan oleh penghuni lantai dua yang jumlahnya
puluhan santri. Mereka pasti akan berpikir beberapa kali.
Kulanjutkan perjalanan menuruni tangga hingga kamar mandi. Sepi. Tidak
ada seorang santri pun di sana. Sebelum masuk kamar mandi, kupertajam indera
pendengarku. Tidak ada satu langkah kakipun terdengar.
“Aman!”
Aku baru masuk kamar mandi ketika lampu kamar mandi tiba-tiba berkedip,
lalu... pet! Mati. Gelap, benar-benar gelap. Bayangkan, kalaulah Iwan yang
berkulit putih itu berdiri satu sentimeter dari mataku, pasti tidak akan
terlihat, apalagi Irvan. Setengah menit kemudian lampu menyala. Kulanjutkan
keperluanku. Tidak sampai satu menit, lampu berkedip-kedip lagi, kali ini agak
lama, lalu terdengar ledakan kecil, dan lampu mati.
Tanganku meraba-raba untuk mencari slot pintu kamar mandi. Setelah
terbebas dari kamar mandi gelap itu, ternyata di luar pun hampir sama gelapnya,
karena aku masih berada di lorong. Aku harus menggapai dinding untuk bisa
mencapai tangga menuju lantai atas. Setidaknya di sana ada sedikit sinar dari
blok gedung sebelah.
Lampu belum menyala lagi ketika aku mencapai tangga. Di lantai dua,
beberapa santri sedang memeriksa meteran listrik dengan lampu senter. Asap
kecil mengepul dari alat itu. Rupanya ledakan kecil itu bersumber dari sana.
Terdengar suara tawa dari lantai atap.
Tiba di lantai atap, Purnomo dan Iwan masih tertawa di pintu kamar
sebelah. Iwan terutama, ia terlihat puas sekali. Kulongokkan kepalaku ke dalam
kamar. Lewat lampu senter yang diarahkan Purnomo, aku bisa melihat Taufik yang
sedang duduk di lantai, badannya bersender di ranjang kayu, mukanya pucat.
Kutanyakan pada Iwan kejadian yang telah kulewatkan itu. Seperti biasa,
aku harus menyampaikannya kembali dalam versiku. Sungguh, cerita tanpa huruf
‘R’ itu sangat membingungkan.
Ceritanya seperti ini. Iwan masih yakin peristiwa tadi itu perbuatan duo
iseng. Karena itu, begitu aku keluar kamar, diam-diam Iwan pun keluar, lalu
mengendap-endap ke pintu kamar sebelah.
“Sepi, sunyi, senyap, angin dingin.”
Seperti itulah Iwan membumbui ceritanya tanpa huruf ‘R’.
Ketika lampu berkedip lalu mati, terlihat percikan-percikan kecil di
kamar yang gelap itu. Iwan semakin yakin, kematian lampu itu ulah penghuni
kamar sebelah. Ia mencoba menahan diri hingga meteran listrik di lantai dua
dinyalakan kembali. Lalu begitu lampu berkedip-kedip lagi, Iwan mendobrak pintu
kamar. Taufik kaget. ujung kabel yang seharusnya tidak dipegangnya itu tergenggam.
Lalu bergeraklah Taufik layaknya penari break
dance diiringi kedipan lampu disco yang diakhiri dengan ledakan kecil di
bawah.
Kasus lampu mati terkuak. Taufik pelakunya, Iwan kelinci percobaannya,
aku – santri baru – korbannya, dan Iwan juga polisi penggerebeknya, tujuan yang
ingin dicapai adalah aku berteriak ketakutan. Kesimpulannya operasi jail Taufik
gagal.
Taufik harus mempertanggungjawabkan dan mengganti seluruh kerusakan yang
timbul akibat perbuatannya. Bagi santri anak orang kaya itu bukan masalah.
Hanya saja kami berharap Taufik kapok, lalu tobat. Dalam dunia bisnis,
membangun brand itu sangat sulit. Begitu juga Taufik, brand duo iseng yang
telah dibangunnya selama lima tahun di pesantren, tampaknya tidak akan dilepas
begitu saja.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar