Setiap kali keluar kamar asrama, aku selalu melangkah ke samping kanan
kamar, sekitar lima langkah, lalu pandanganku akan langsung kutebar ke arah
barat. Bukan, jangan berprasangka baik dulu. Pandanganku bukan langsung tertuju
ke bangunan masjid yang berdiri kokoh di sana. Bukan pula ujung lancip puncak
kubah masjid yang kerap membelah cakrawala merah tembaga ketika menjelang
maghrib. Atau, bukan pula bangunan koperasi sebelah masjid, satu bangunan di
pesantren yang selalu menyediakan berbagai macam buku bacaan untuk mengusir
rasa hausku akan ilmu.
Mataku selalu tertuju pada satu pintu di ujung barat, persis sebelah kanan
masjid, hanya satu atau dua meter dari dinding bangunan tempat kami khusyu
berdu’a itu. Pintu itu berwarna
hijau muda, dengan kusen warna hijau muda pula. Dari tempatku berdiri, pintu
itu hanya terlihat sebesar korek api. Bagiku, pintu itu dan apapun yang ada di
balik itu adalah sebuah misteri, misteri yang harus dipecahkan, membuatku
penasaran, hingga terkadang susah tidur.
“Di balik pintu itu, asrama putri, Sep.”
Jawab Purnomo suatu ketika, saat kutanya tentang pintu itu.
“Aku tau, di sana asrama putri. Maksudku, seperti apakah asrama putri
itu, Pur?”
Iwan berhenti mengepak barang dagangannya, Irvan berhenti mengisi
diarynya. Agaknya mereka pun sama sepertiku. Sangat
penasaran dengan segala sesuatu yang ada di balik pintu berwarna hijau muda
itu.
“Di dalam sana, tidak ada yang istimewa, seperti umumnya sebuah asrama
dengan belasan kamar tidur.”
“Cuma itu?” Irvan kecewa.
“O ya, di tengah komplek asrama terdapat sebuah taman.” Lanjut Purnomo.
”Taman Pur?”
”Betul, di tengah-tengah komplek itu ada taman.”
”Taman surgawi, taman yang dikelilingi bidadari nan cantik.” Batinku.
Hari ini, liburan hari ketiga, tepat jam sembilan pagi, disaksikan mentari
dan Iwan, kutagih janji Purnomo untuk patroli ke dalam komplek asrama putri.
Untuk moment ini, Iwan sengaja mereschedule jadwal berjualannya.
”Lets go!”
Kami berjalan berjajar, laksana tiga cowboy
yang akan menggerebek sarang penjahat. Purnomo memutar-mutar gantungan kunci
asrama dengan ujung telunjuknya. Sunyi sekali, bahkan rasanya aku mendengar
debar jantungku. Mungkin, Iwan pun merasakan yang kurasakan. Bagi Purnomo,
masuk asrama putri, mungkin hal biasa. Tapi bagi Iwan, aku juga, adalah moment paling bersejarah dalam hidup.
Masuk taman surgawi yang selama ini hanyalah misteri.
Begitu sampai pintu itu, Purnomo langsung memasukkan anak kunci ke dalam
lubang kunci yang berada dalam daun pintu hijau muda itu.
Crek, crek!!!
Suara anak kunci ketika bergerak itu terasa bergema.
Agaknya Iwan tidak ingin menyia-nyiakan moment
ini. Ia pegang daun pintu itu, lalu mengusapnya. ia lalu menatapnya dari atas
hingga bawah, matanya tidak berkedip. Ia tersenyum. Pintu yang selama ini hanya
bisa dilihatnya sebesar korek api, sekarang ia bisa puas memandangnya, sesuai
ukuran aslinya. Bukan cuma itu, iapun bisa memegang dan mengusapnya dengan
lembut.
Aku ingin melakukan itu, tapi sudah keduluan Iwan.
Asal tahu saja. Setiap sore, di pintu ini, beberapa orang santri putri sering
terlihat berdiri, mereka bersender di daun pintu ini, pandangan mereka selalu
tertuju ke arahku yang berdiri di atas sana. Maaf, aku terlalu percaya diri,
maksudku, pandangan mereka langsung tertuju ke asrama gedung A tempatku
berdiri. Karena bangunan asrama gedung A ini berhadapan langsung dengan pintu
hijau muda itu. Sedangkan aku, hanyalah remeh
yang tak pernah dilirik mereka.
Aku selalu tersenyum menyambut wajah-wajah cerah mereka, meskipun aku tahu,
senyumku tidak akan berarti apa-apa bagi mereka, jaraknya cukup jauh, senyum
ataupun cemberut sama saja bagi mereka, wajahku akan terlihat samar oleh
mereka, begitu juga sebaliknya. Tapi, bagiku wajah mereka terlihat selalu
tersenyum.
Aku selalu setia berdiri di sana, menunggu mereka melambaikan tangan
memanggilku. Meskipun aku tahu, semua itu tidak akan pernah terjadi. Hanya laki-laki
beruntung yang mendapat lambaian tangan dari wanita-wanita cantik di depan
pintu ini. Purnomo lah salah satu lelaki beruntung itu, ia paling sering
dipanggil menuju pintu ini. Wajah cerianya langsung terlihat jelas mengiringi
langkah ringannya. Setelah sampai di depan pintu, terkadang ia masuk ke dalam
sana, atau terkadang pula ia pergi ke suatu tempat untuk mengemban tugas.
Lelaki beruntung lainnya yang sering dipanggil adalah penghuni kamar
sebelah, Raisul Balad, Nurrahman Zaki, Harits Santosa dan Taufik Husein.
Seperti Purnomo, Taufik Husein selalu berjalan tergesa dengan muka ceria.
Anehnya, Raisul Balad dan Nurrahman Zaki terlihat biasa-biasa saja. Apapun
reaksi mereka, tetap saja
semua itu selalu membuatku iri.
Aku, Irvan dan Iwan bukanlah lelaki yang beruntung. Satu kalipun kami tidak pernah mendapat lambaian tangan
untuk mendekati pintu itu. Kondisiku masih bisa dimaklumi, karena aku baru
tinggal beberapa bulan di sini. Tapi Irvan dan Iwan? Mereka sudah lebih dari
dua tahun tinggal di bangunan pesantren ini, tidak pernah sekalipun mendapatkan
kesempatan mendekati pintu yang diam-diam sedang kuusap dengan lembut ini.
Kasihan.
Krrrrtttttt!!!
Daun pintu hijau muda itu terbuka lebar. Aku dan Iwan berebutan masuk,
sampai-sampai Purnomo hampir jatuh tersenggol bahu Iwan. Mata kami terbelalak.
Purnomo benar tentang taman itu. Begitu masuk komplek asrama, aku disuguhi
pemandangan taman yang indah. Berbagai macam jenis pohon dan bunga tertata
rapi. Ada tiga bangku di tengah taman itu. Eksotis
sekali.
Kami melangkah ke tengah taman. Purnomo mengikuti kami dengan langkah
gontai, agaknya ia mentertawakan tindakan kekanak-kanakan kami. Biarlah ia
berpikir begitu. Ia belum tahu, bagaimana rasanya memendam rasa penasaran
sampai berbulan-bulan. Bisa bisul aku dibuatnya.
Dari taman, kami bisa leluasa melayangkan pandangan ke seluruh penjuru mata
angin. Melihat seluruh isi komplek asrama putri. Di bagian selatan taman,
berdiri kokoh bangunan asrama putri dua lantai dengan beberapa kamar yang cukup
luas, kusen pintunya berwarna hijau muda, begitu juga dengan jendelanya, ada mading di beberapa bagian dinding,
berisi pengumuman atau coretan karya santri putri. Begitu pula kamar-kamar di
bagian barat. Di sebelah utara, terdapat dapur umum bersebelahan dengan kamar
mandi yang berjejer. Sedangkan di bagian timur, bangunan kelas yang dindingnya
menempel dengan masjid. Terjawab sudah misteri di balik pintu warna hijau muda
ini.
”Matipun aku tidak akan penasalran.” Gumam Iwan.
Berbeda sekali dengan asrama putera gedung A, hanya dua bangunan kelas yang
diisi dengan ranjang kayu dan lemari pakaian, plus empat kamar di atap. Jika
dilihat dari jauh, lebih mirip kandang burung merpati, daripada sebuah kamar.
Gedung B lebih tidak nyaman lagi, bangunanya hanyalah beberapa petak kamar yang
tidak pernah tersentuh sinar matahari. Lembab, gelap, karena itu sepanjang hari
lampu harus selalu menyala. Sedangkan gedung C berada di luar komplek
pesantren, lebih mirip rumah kontrakan daripada sebuah asrama.
Iwan melirik ke arahku.
“Aya nu kulrang nya Sep.”
“Bener, Wan. Aya nu kurang.”
Ada yang kurang di komplek ini, penghuninya. Tempat seindah ini tidak akan
istimewa jika tidak ada penghuninya. Seandainya, sekarang, detik ini, menit
ini, jam ini, hari ini, bulan ini, tahun ini, di tempat ini ada penghuninya,
tentu kami akan menjadi tiga lelaki paling beruntung sedunia. Kami berdiri di
tengah taman ini, dikelilingi wanita-wanita cantik. Siulan dan sapaan menggoda
kami - tapi siulan agaknya tidak mungkin - hingga wajah kami memerah
menahan malu. Kami betul-betul menjadi tiga lelaki tertampan di dunia. Aku dan
Iwan tersenyum. Aku dan Iwan telah bertemu di alam khayal. Agaknya aku dan Iwan sepakat meskipun tidak pernah kami
ungkapkan.
“Selesai!”
Sayangnya Purnomo tidak sepakat. Tega sekali.
“Patrolinya selesai. Asrama putri akan kukunci kembali.”
“Yaaaaa!!”
Iwan sangat kecewa. Aku juga.
”Pur, bukankah kita harus patroli?”
Aku mengingatkan Purnomo akan tugasnya.
”Tidak perlu.”
"Tidak perlu? Kenapa?”
”Kamu lihat pintu itu?”
Purnomo menunjuk pintu masuk berwarna hijau muda itu. Kami serempak menoleh
ke arah pintu.
”Tidak ada satu orang pun bisa masuk ke sini, selain melalui pintu itu.
Jika tidak ada apa-apa dengan pintu itu, berarti kondisi asrama putri aman-aman
saja.”
Purnomo memang benar. Tidak akan ada satu orang pun yang bisa masuk asrama
putri selain melalui pintu itu. Bangunan-bangunan dalam asrama ini mengelilingi
taman surgawi ini. Semuanya berlantai dua. Jikalau ada yang berani masuk asrama
putri lewat atas, lewat genteng. Berarti orang itu sudah bosan hidup.
Aku dan Iwan terdiam. Purnomo benar-benar egois, kami menemaninya menghabiskan liburan selama seminggu
di pesantren, masa kami hanya diberi kesempatan beberapa menit saja untuk
menikmati indahnya taman yang hanya ada dalam impian kami.
“Pulr, belum tentu aman-aman saja.”
“Maksudmu?”
“Bagaimana kalau ada bagian-bagian aslrama yang digelrogoti tikus? Misalnya
kabel. Itu sangat belrbahaya.”
Agaknya Iwan sedang
membicarakan kondisi rumahnya.
Purnomo tertegun, ia mulai terpengaruh.
“Bukankah kamu diamanahi untuk patroli di asrama putri?”
Purnomo mengangguk.
“Iwan, inikah yang namanya patroli?”
Aku mengedipkan sebelah mata, tanpa ketahuan Purnomo tentunya. Iwan
mengerti maksudku. Ia menggelang cepat.
“Bukan, bukan, bukan. Ini bukan patlroli.”
“Jika amanah dilanggar, orang itu disebut apa Wan?”
“Muna.....”
“Oke, oke, oke. Kita patroli!!”
Kami akhirnya memeriksa setiap sudut bagian luar kamar asrama. Kami coba
membuka pintu dan jendela kamar satu per satu, memastikan pintu dan jendela itu
tertutup dengan benar. Purnomo berharap semua terkunci rapat, agar tugas
patroli cepat selesai. Sedangkan aku dan Iwan berharap sebaliknya, berharap ada
pintu atau jendela yang terbuka, agar tugas kami bertambah, kalau begitu kami
bisa berlama-lama di sana. Tapi kenyataannya, seluruh pintu dan jendela kamar
tertutup rapat.
Setengah jam kemudian kami selesai patroli.
“Pur, besok patroli lagi kan?”
“Cukup sekali saja.”
“Ingat Pur, ini amanah.”
“Baik, baik, baik. Besok ke sini lagi.”
Sebelum melangkah meninggalkan komplek asrama, kusempatkan sekali lagi
untuk melihat ke sekeliling. Kubisikkan satu kalimat.
“Tunggu aku, besok aku kembali.”
Purnomo menutup kembali pintu kayu berwarna hijau itu, lalu menguncinya.
Taman surgawi itu kini terkunci lagi.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar