”Kumaha Sep?”
Tanya Purnomo dalam bahasa Sunda dengan logat yang kaku. Untuk percakapan
singkat, ia selalu berusaha
berbicara dengan bahasa Sunda sebisanya, hingga menghasilkan logat yang unik.
Aku tidak menjawab, ragu. Satu minggu bukanlah waktu yang sebentar. Jika
pulang kampung, dalam waktu satu minggu ini aku bisa melakukan banyak hal.
Menemani Purnomo menghabiskan liburan Iedul Adha di pesantren. Agaknya bukan
pilihan yang tepat.
”Biasanya aku pulang kampung, atau tinggal di rumah kerabatku di Karawang.
Tapi, kali ini aku ingin menghabiskan liburan di Pesantren, seperti dua tahun
yang lalu.”
”Jika aku tidak bisa?”
”Aku akan tetap tinggal di sini.”
”Sendirian?”
”Ya.”
Entah terbuat dari apa hati temanku yang satu ini. Ia akan menghabiskan
masa libur satu minggu di pesantren. Sendirian. Tidak terlihat sedikitpun rasa
takut. Aku menjadi semakin penasaran untuk mengenal lebih jauh sosok santri
Bentar yang misterius ini.
Sementara itu Iwan sibuk membereskan jaket kulit dagangannya di depan pintu
kamar kami. Ia agaknya sedang konsentrasi menghitung jumlah jaket kulit yang
akan dijajakan.
”Sep, pernah makan daging sampai puyeng?”
Tanya Purnomo kemudian.
”Maksudmu?”
”Karena kebanyakan makan daging.”
Aku menggeleng. Iwan menoleh, ia menghentikan aktifitasnya, mungkin ingin
ditanya pendapatnya tentang makan daging sampai puyeng.
”Nanti, di sini akan banyak kiriman daging. Berkilo-kilo, Sep. Banyak
sekali.”
Glek!
Aku dan Iwan menelan ludah, membayangkan daging qurban berkilo-kilo, hanya
untuk aku dan Purnomo. Aku menggeleng, menghapus khayalan daging mentah yang
menumpuk di dapur asrama. Mungkin, kalau daging matang pasti enak, tapi daging
qurban biasanya diberikan mentahnya saja.
”Tenang saja Sep, aku bisa masak.”
”Benelr Sep, Pulrnomo pintalr masak!” Timpal Iwan.
Aku jadi ingat, kenapa Iwan atau yang lainnya tidak ditawari untuk tinggal
di pesantren selama liburan. Ketika kutanya alasan Iwan tidak ditawari.
”Si Iwan mah, sibuk bisnis.”
”Irvan?”
”Enggak bisa diajak ngobrol, si Irvan mah
sibuk terus dengan diarynya.”
”Zaki, Husen atau Rais?”
”Sudah pasti mereka pulang kampung. Apalagi si Rais, kalau mau libur dia mah malah suka mencuri start dan kembali
ke sini paling belakangan.”
Aku tersenyum, hari Kamis ini, Rais belum kelihatan, agaknya dia telah
mencuri start libur. Seharusnya libur mulai besok, dan masuk kembali hari Sabtu
depan. Rais memang kelewatan.
”Tapi, kalau si Iwan mau tinggal di sini, silahkan saja.”
Wajah Iwan yang innocent dengan
kedua mata sipit akan membuat siapapun menaruh belas kasihan.
”Mau, mau, mau. Sayang sekali daging sebanyak itu kalau tidak dihabiskan, mubadzilr Pulr, bisa jadi teman syethan kamu nanti.”
Daging qurban yang berkilo-kilo sangat menggiurkan. Itung-itung perbaikan
gizi. Aku? Aku masih ragu. Daging sebanyak itu tidak membuatku tergiur untuk
tinggal di pesantren selama liburan. Aku pernah merasakan makan daging yang
cukup banyak, karena orang tuaku hampir tiap tahun Qurban.
”Kumaha Sep?”
Purnomo mengulang pertanyaan bernada ajakan, tetap dengan bahasa Sunda
dengan logat yang kaku.
Liburan seminggu cukup panjang. Jika akan menghabiskan waktu selama itu
hanya di pesantren, harus ada alasan yang sangat kuat. Bagiku, daging Qurban
bukan alasan yang kuat. Sebenarnya ada alasan yang sangat kuat. Aku ingin
mengenal sosok Purnomo lebih jauh. Sosok dengan karakter unik dan misterius.
”Tapi itu bisa dilakukan di lain waktu”
Bisik sudut hatiku yang keberatan dengan alasan yang satu ini.
”Wan, kamu bagaimana?”
”Aku akan tinggal di sini. Tapi...”
”Tapi kenapa Wan?”
”Siang hari aku tidak bisa di sini. Aku tetap jualan.”
”Tidak masalah.”
Aku membetulkan bangku panjang di depan kamar Rais, tempat biasa kami
nongkrong menghabiskan waktu sore hingga maghrib tiba. Pandanganku langsung
tertuju ke barat, kulihat beberapa orang santri wanita melewati pintu berwarna
hijau muda, lalu menghilang ke dalam ruangan di balik pintu itu. Aku tersenyum.
”Pintu hijau muda, seperti apakah di balikmu.” Bisikku dalam hati.
Purnomo langsung bisa menangkap apa yang kupikirkan. Alasan tepat untuk merayuku
agar menemaninya menghabiskan libur panjang di Pesantren.
”Jika libur panjang tiba, seperti libur Iedul Adha ini, seluruh penghuni asrama
puteri akan pulang kampung.”
Mendengar kata asrama puteri, telingaku langsung bereaksi, suara Purnomo
yang tadi samar-samar, rasanya sekarang menjadi sangat jelas. Aku terus
memasang antena penerima sinyal yang sangat kuat.
”Lalu?”
Tanyaku berusaha bersikap biasa-biasa saja. Padahal secara tidak sadar,
pertanyaanku itu justeru menunjukkan aku telah masuk perangkapnya.
”Aku diberi amanah memegang kunci pintu berwarna hijau muda itu.”
Ada rasa penasaran dan senang yang akan membuncah. Aku terus memasang
sinyal penerima yang kuat. Tapi aku berusaha untuk menguasai diri.
”Lalu?”
”Nanti, kita akan patroli ke sana.”
Tugas suci yang tidak boleh ditolak.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar