Senin, 11 Juli 2016

Pemilik Pedang Naga Puspa



Ayah dan Ibu sudah pulang. Di ujung jalan, tepat di bawah papan nama tua kusam itu, mereka ditelan angkot yang menuju Terminal. Tinggal aku sendirian, menyesali keputusanku pindah ke pesantren ini. Aku berjalan sendirian menuju kamar baruku yang berada di puncak gedung A. Memulai petualangan baru di pesantren baru, di asrama baru, dan besok, di kelas baru.
Mari kuceritakan alasan sebenarnya yang membuatku ingin menangis.
Tadi, ketika kami, aku dan ustadz Dzul Qarnain – Lelaki kekar itu ternyata penanggungjawab asrama putra, para santri biasa memanggilnya dengan sebutan ustadz Dzul – menuju kamar asrama yang akan kutempati. Kecurigaanku tentang kebohongan Rais lainnya mulai terbukti. Ternyata, salah satu gedung asrama yang dimaksud makhluk tidak tahu diri itu, hanyalah dua ruangan di lantai dua bangunan kelas yang disulap menjadi tempat tidur. Meja dan kursi belajar diganti ranjang kayu dan lemari pakaian, sama persis seperti asrama di pesantren lamaku, bahkan di sana lebih tertata rapi.
Tangganya, pertama kali naik, aku harus berpegangan pada pegangan besi yang terpasang di kedua sisi tangga. Dengan tingkat kemiringan tangga yang sangat mengkhawatirkan – kemiringannya lebih dari empat puluh lima derajat – membuatku harus ekstra hati-hati. Tangga ini jelas berbeda dengan medan Gunung Galunggung yang pernah kulalui. Selain curam, lantai tangga selalu basah, karena tepat di bawah tangga itu, terdapat kamar mandi santri. Terpeleset, maka sempurnalah hidupku dalam kondisi membujang. Paling ringan, masuk UGD. Mungkin, itulah alasan sebenarnya Ayah dan Ibu tidak diajak mengantarku ke ruang asrama.
Belum selesai, kamarku bukan di salah satu ruangan kelas tadi. Setelah melewati tangga curam itu, aku masih harus naik tangga lagi. Lumayan, tangga berikutnya terasa nyaman, tingkat kemiringannya sekitar tiga puluh derajat saja. Tibalah aku di lantai tiga, sebenarnya bukan lantai tiga, tapi atap pesantren. Harus percaya! Aku menempati salah satu kamar yang dibangun di atap pesantren!
Tepat di atap ruang asrama, terdapat empat kamar, dua kamar untuk santri di sebelah utara, ditempati beberap orang santri, sedangkan dua kamar lagi di sebelah selatan, ditempati oleh ustadz bujangan yang belum punya rumah, semacam mess tipe Kamar Sangat Sederhana. Kamar utara dan selatan berhadapan dengan jarak sekitar empat meter. Sebelah timur ditutup dinding setinggi dua meter, mungkin sebagai tindakan antisipatisi agar kami tidak terjatuh ke bawah ketika kami pusing karena pelajaran. Tepat di bawah, di balik tembok itu adalah sungai. Sebelah barat ditutup pagar besi setinggi satu meter yang menutupi area tempat kami menjemur pakaian.
Jika dilihat dari kontur bangunan, agaknya empat kamar itu bukanlah bagian dari rancang bangun pesantren. Empat kamar itu seperti teronggok begitu saja diatas atap, seperti bagian terpisah dari atap beton pesantren.
Aku teringat pesantren lamaku. Padahal, jika aku bersabar sedikit saja, setahun lagi aku akan lulus. Tidak perlu aku terdampar ke pesantren seperti ini. Itulah yang membuatku ingin menangis. Bisa dibayangkan, perjuanganku turun naik tangga setiap hari, meskipun hanya sekedar untuk ambil air minum dari dapur.
* * *
Inna ma’al ’usrin yusraa
Sesungguhnya dalam setiap kesusahan terdapat kemudahan.
Boleh saja aku kecewa dengan kondisi bangunan kelas dan asrama, tapi setidaknya aku telah mendapatkan teman baru yang bersahabat. Itu hikmahnya, dan itu yang harus aku tanamkan dalam benakku. Kepindahanku didu’akan oleh orang-orang baik, oleh orang tua, tentu aku akan mendapatkan tempat yang baik, meskipun awalnya terasa pahit.
"Purnomo."
Ketika aku dan ustadz Dzul menginjakkan kaki di atap pesantren, seorang santri berperawakan pendek tapi kekar memperkenalkan diri, maksudku ia lebih pendek dariku, tinggi badanku sendiri hanya seratus enam puluh lima sentimeter.
Kusambut tangan persahabatan itu sambil menyebutkan namaku. Telapak tangannya kasar, genggamannya kuat sekali, lebih kuat dari genggaman makhluk kurang ajar bernama Rais itu. Meskipun aku sudah berusaha berbesar hati menerima kondisi pesantren ini apa adanya, tetap saja merasa kesal pada Rais.
Santri bernama Purnomo itu meraih koper yang dibawa ustadz Dzul, lalu membawanya menuju satu kamar paling timur.
Ketika masuk kamar, kulihat santri berambut ikal gondrong sedang menulis di buku agendanya. Ia duduk di salah satu ranjang bagian atas. Perawakannya tinggi kurus, kulitnya tidak putih. Aku tidak berani menyebutnya hitam, karena aku baru mengenalnya. Ketika santri itu tersenyum padaku, gigi-gigi putihnya begitu kontras terlihat. Santri itu menutup buku agendanya, lalu menyodorkan tangannya dari atas ranjang padaku.
”Irvan.”
Berbeda sekali dengan Purnomo, telapak tangan santri bernama Irvan ini sedikit halus. Agaknya ia merawat kulitnya dengan baik, itu tampak dari hampir keseluruhan kulit tangannya yang bersih. Biar kutebak, dia itu pasti lelaki tipe romantis yang sedang jatuh cinta. Buku agenda yang ia pegang tadi, pasti bukan buku agenda untuk menulis materi pengajian seperti yang biasa kulakukan, tapi itu buku diary.
Pemandangan ganjil kulihat di dinding kamar, sebuah pedang menempel di sana, tepat di belakang Irvan. Pedang itu disangkutkan pada dua paku yang menancap di dinding. Pedang tidak bersarung itu panjangnya sekitar tujuh puluh lima sentimeter. Lekukan gagangnya begitu indah dengan ukiran sisik, sedangkan ujung gagangnya berbentuk kepala naga.
”Itu pedang Naga Puspa, Sep. Punyaku. Hanya koleksi saja.”
Jelas Purnomo.
Aku tebak, santri dengan pedang Naga Puspa itu pasti memiliki hobby berlatih beladiri, menyukai cerita dan film laga semacam Tutur Tinular, pedangnya saja diberi nama seperti nama pedang di cerita Tutur Tinular. Dua teman baruku itu, sangat kontras perbedaannya, yang satu bersenjatakan pulpen, satu lagi benar-benar senjata, pedang.
Sesuai keputusan ustadz Dzul tadi, aku mendapat bagian ranjang tidur bagian atas, seperti Irvan. Aku patuhi saja keputusan itu, meskipun sebenarnya aku ingin mendapatkan bagian bawah. Aku terbiasa tidur di ranjang pendek, bahkan lebih sering di lantai. Bisa dibayangkan jika aku terbangun tanpa menyadari aku sedang berada di ranjang atas.
Ranjang tepat di bawahku sebenarnya kosong. Awalnya aku enggan menanyakan tempat itu, tapi karena aku benar-benar ingin ranjang bagian bawah, akhirnya kutanyakan pada Purnomo.
”Oo, itu sudah ada, Iwan namanya.”
Aku tidak mau mengejar lagi dengan pertanyaan lainnya. Siapa Iwan itu sebenarnya, sedang apa sekarang, ora ngnya seperti apa, hitam atau putih kulitnya. Paling lambat, nanti sore pasti bertemu. Yang harus kulakukan segera adalah membereskan tempat tidur, menata barang-barang pribadiku di atas ranjang kayu.
Kuangkat tas ranselku, lalu kuletakkan di atas ranjang, lalu koper. Kuperlakukan koper tua ayah itu bagai barang keramat, hati-hati sekali aku meletakkannya. Aku tidak mau koper bersejarah milik ayah ini, rusak di tanganku. Aku naik ke atas ranjang. Di atas ranjang, kubongkar isi tas ransel yang berisi pakaian sehari-sehari, serta buku dan kitab pelajaran. Kutata buku dan kitab di sisi ranjang, begitu juga pakaian-pakaianku. Koper tua itu kujadikan lemari kecil, barang pribadi dan barang berharga kuletakkan di sana. Prihatin sekali aku dibuatnya.
”Sep, bajumu simpan di lemariku saja.”
Aku terharu dengan tawaran Purnowo. Aku jadi teringat kisah Muhajirin dan Anshar ketika para shahabat Muhajirin datang ke Madinah, para shahabat Anshar langsung menawarkan berbagi segala sesuatu yang dimiliki mereka dengan para Muhajirin. Tapi, sebagian besar Muhajirin menolak halus tawaran itu. Mereka ingin memulai segalanya dari awal tanpa menyusahkan saudaranya dari Anshar.
Anshar membuktikan tingkat kepedulian yang sangat tinggi, sedangkan Muhajirin membuktikan tingkat semangat yang kuat, tidak ingin tergantung pada orang lain.
Kuperhatikan posisi pakaian, buku dan koperku. Jika semua tetap pada posisi seperti itu, maka ranjangku tidak akan cukup untuk tidur. Jika kuletakkan sebagian pakaianku di lemari Purnomo, aku akan merasa tidak nyaman setiap kali membuka lemarinya. Aku khawatir di dalam lemarinya terdapat barang pribadi yang tidak ingin diketahui orang lain, termasuk aku.
”Terima kasih, Kang.”
Biarlah ranjang kayuku berfungsi sebagai lemari pakaian dan buku, sedangkan tidur, aku sudah terbiasa tidur di lantai, masjid, atau di kelas pun bisa. Pengalaman camping di Galunggung membuatku mudah dalam menyesuaikan kondisi.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar