”Sep, tau bidadari enggak?”
Tanya paman suatu waktu. Dulu, ketika aku belum masuk Sekolah Dasar.
"Bidadari? Bidadari itu apa mang?"
Aku balik nanya. Waktu itu aku betul-betul tidak tahu. Sebelum dijelaskan
paman, sempat terlintas di pikiranku bahwa bidadari itu nama suatu tempat, atau
mungkin nama makanan, atau bisa jadi nama mobil keluaran terbaru.
Paman terdiam. Agaknya ia sendiri bingung tentang definisi objek yang
sedang ia bicarakan. Ia berusaha mencari kalimat paling sederhana untuk
menerangkan bidadari padaku, agar mudah dicerna oleh cara berpikirku yang masih
lugu.
"Begini saja, menurut Asep, siapa perempuan yang paling cantik di
dunia?"
Aku tertegun.
”Cantik?”
Paman mengangguk.
Yang Aku tahu, cantik itu nyaman dilihat, tidak membosankan, membuat kita
tenang, rindu ketika berpisah. Persamaan kata dari indah, hanya saja kata indah
sering digunakan untuk barang atau pemandangan.
Otakku lalu berputar mencari wanita dengan kriteria yang kutahu tadi. Ingatanku
melayang pada teman TK ku. Dialah gadis terindah yang kutahu. Matanya hitam
bening, aku merasa nyaman ketika melihatnya, aku tersipu malu ketika
bertatapan, begitu juga gadis itu. Pipi tembemnya sering membuat tanganku gatal
untuk mencubit, senyumnya manis sekali. Aih, aku jadi rindu untuk bertemu.
Tidak salah lagi, dialah wanita paling cantik yang dimaksud.
"Fira!!"
Pekikku mantap. Tapi setelah umurku dua belas tahun. Penilaianku tentang wanita terindah di dunia
berubah menjadi mbak Gina Sonia. Penyiar TVRI Bandung yang anggun dan lembut
itu. Sejak ada mbak Gina di TVRI, aku dan paman tiba-tiba saja jadi suka menonton
acara berita yang membosankan itu.
"Bidadari itu jauuuh lebih cantik dari Fira!"
"Wuiiihhh!!! Lebih cantik dari Fira mang?"
Aku melonjak girang, penasaran info lebih lanjut tentang Bidadari.
Tiba-tiba saja aku membayangkan wajah Fira dicoret-coret dan diganti dengan
wajah bidadari yang belum kukenal.
"Lebih cantik! Fira mah jauuuuh!!"
"Kalau dibanding Aisyah putri pak RT, lebih cantik siapa mang?"
Paman tersipu malu, pipinya memerah. Aku tahu, paman naksir berat sama
gadis putri pak RT.
"Anak pak RT?"
Aku mengangguk.
"Jauuuuuuuuuh!!!"
Tanpa banyak pikir lagi ia jawab pertanyaanku. Ia mengangkat tangan
kanannya lalu menepiskannya seolah membuang sesuatu yang menjijikan. Aku tau,
dia menjawab begitu karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Coba kalau diterima. Pasti jawabannya
lain lagi, mungkin seperti ini,
"Beda-beda tipis lah!"
Perbincangan tentang bidadari pun berlanjut. Tidak banyak yang kuingat
dari perbincangan itu, karena pikiranku terus melayang pada teman TK ku itu,
bidadari bagiku hanyalah sebuah keyakinan yang tidak pernah bisa terjangkau
akal. Hanya iman untuk mempercayai keberadaannya, sebagaimana surga dan neraka.
Sedangkan gadis TK itu nyata. Tapi, entah di mana ia sekarang.
“Kalau besar nanti, mamang mau
nikah sama bidadari.”
Aku menatap paman, kagum dengan keyakinan dan cita-citanya. Tapi, aku
belum bisa menjangkau apa yang ada di pikirannya.
* * *
Ketika perbincangan tentang bidadari waktu itu, sebenarnya ada yang
ingin kuminta dari paman, tapi aku ragu.
“Paman, beri aku satu bidadari”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar