Minggu, 10 Juli 2016

Purnomo



Cerita masa kecil Purnomo sangat menakutkan, benar-benar membuatku merinding, penuh dengan kisah-kisah mistis. Jauh berbeda dengan masa kecilku, kisah mistis hanyalah sebaris dongeng agar kami takut dan menurut. Bola api santet merupakan pemandangan biasa baginya, pertarungan dengan berbagai macam jenis makhluk halus pernah ia lakoni.
Layaknya kisah seribu satu malam, kisah hidupnya tidak pernah berakhir, selalu ada kisah yang membuatku penasaran. Malam ini pun ia mulai bercerita lagi.
”Dulu,”
Tentu saja sewaktu Purnomo masih Sekolah Dasar.
”Aku punya dua jin.”
Jeans? Aku juga punya. Kalau kalian butuh, aku punya chanel distlributor jeans yang sangat mulrah.”
Iwan yang di otaknya cuma bisnis itu menyela. Ia belum tidur seperti biasanya. Agaknya ia girang bukan main, ia sekarang lebih santai dari biasanya, itu karena barang dagangannya tinggal sedikit. Beberapa hari ini jualannya laris manis, dengan laba yang lumayan, sudah cukup untuk menutupi kerugian akibat kehilangan dua potong jaket kulitnya. Bahkan lebih.
”Bukan jeans, tapi jin. Makhluk halus!”
Astaghfilrullaah! benar Pulr?”               
Iwan terperanjat, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu turun dari ranjang, ikut bergabung bersama kami, duduk bersila di lantai kamar. Malam sebelumnya ia tidak pernah mendengar kisah Purnomo, karena ia sudah tertidur pulas setiap Purnomo mulai bercerita.
”Wajah mereka sangat menakutkan, kulit mereka hitam. Kulit si Irvan mah tidak ada apa-apanya dibanding mereka.”
Kami nyengir, lumayan sedikit intermezo untuk menghilangkan rasa takut.
”Salah satunya bermata besar, lidahnya menjulur panjang ke bawah.”
Iwan mengepalkan tangan lalu meletakkannya di mata, kemudian menjulurkan lidah, membayangkan wajah jin itu. Ia sudah mendapatkan gambaran bentuk wajah jin itu. Dirinya sendiri. Ia merinding. Perlahan Iwan menggeser duduknya semakin mendekatiku.
”Satunya lagi bertaring panjang seperti pedang, mencuat dari mulutnya hingga perut. Terkadang ia memegang kedua taringnya ketika berbicara.”
Iwan semakin merinding. Lutut Iwan sudah menempel dengan lututku.
”Mereka mau disuruh apa saja.”
”Apa saja, Pulr?”
”Ya, apa saja. Apa saja yang kuinginkan selalu mereka kabulkan. Tapi, dulu keinginanku tidak macam-macam, karena aku masih anak kecil, keinginanku hanya sebatas mencuri uang dan menjaili orang yang kubenci. Itu saja.”
Aku dan Iwan berpandangan. Kami berharap bukan dari kalangan orang-orang yang dibenci Purnomo. Kalo urusan jail dan menjaili, aku jadi curiga, jangan-jangan Rais dan Taufik adalah jelmaan dua jin Purnomo.
”Sekarang mereka masih ada?”
”Masih. Di kampungku sana, di Ogan Komering Ilir.”
Lutut Iwan mulai menjauhi lututku.
”Setelah aku tahu itu perbuatan syirik, kulepas mereka, kuusir mereka supaya jangan mendekatiku lagi. Tapi mereka selalu mendatangiku.”
”Tunggu, tunggu, tunggu. Maksudmu, mereka jauh-jauh dari kampungmu datang ke Garut, ke pesantren kita?”
Purnomo mengangguk.
”Tuh kan, Sep!”
Iwan langsung melompat ke tengah dan duduk di antara aku dan Purnomo. Kami cukup kewalahan menarik Iwan agar duduk di tempatnya semula.
”Tipu daya syethan memang hebat, seolah aku seorang tuan dan mereka budakku, hakikatnya merekalah tuannya, dan aku budak mereka.”
Susah sekali meyakinkan Iwan bahwa dua jin itu tidak pernah nonggol lagi – padahal di sekitar kita masih banyak jin yang lain –. Akhirnya Purnomo melanjutkan ceritanya setelah Iwan kembali ke tempat duduknya.
Dua jin itu memaksa Purnomo agar tetap menjadi tuan mereka, Purnomo menolak. Mereka tetap memaksa hingga terjadi pertarungan, seperti pertarungan mereka dulu ketika Purnomo menginginkan dua jin itu menjadi budaknya. Dua jin itu kalah, akhirnya mereka tidak pernah mendatangi Purnomo lagi.
”Ada satu peristiwa yang tidak pernah bisa kulupakan? Peristiwa yang akhirnya membawaku ke pesantren ini.”
Purnomo mulai berkisah lagi. Sejak ia memiliki dua jin bermuka jelek itu, ia gampang marah, semakin sombong. Hingga suatu saat Purnomo belajar memanah, ia sudah mahir memanah objek tidak bergerak. Ia ingin belajar memanah objek bergerak. Ia pun pergi ke hutan mencari objek latihan, burung, kijang, babi atau apa saja yang bergerak. Seharian mencari sasaran, tidak seperti biasanya, ia tidak menemukan satupun binatang. Purnomo kesal, ia pun pulang ke rumah. Begitu sampai di halaman rumah, ia melihat sasaran bergerak.
”Kamu panah Pur?”
Purnomo mengangguk, tapi kedua matanya berkaca, lalu menunduk, dua butir cairan air mata menetes dari sudut matanya. Ia terisak. cepat ia menyekanya. Aku dan Iwan saling pandang, satu kalipun kami belum pernah melihat Purnomo sedih, apalagi menangis. Aku terdiam, menunggu kelanjutan kisahnya.
”Kenapa Pur?”
Aku tidak sabar. Purnomo menatapku, kedua matanya masih berkaca.
”I, ibu, itu ibuku. Sep.”
”Ibu? Kenapa ibumu?”
”Yang kupanah itu ternyata ibuku.”
Kutarik nafas dalam-dalam, ragaku terasa terhempas, antara percaya dan tidak akan omongannya. Kedua mataku panas, kilatan air mata menghalangi pandanganku. Iwan lebih lagi, ia ekspresif sekali, ketika kulirik ia tengah sibuk menyeka air matanya yang bercucuran. Ia gampang sekali tersentuh hingga ia tidak mampu berbicara lagi.
”Lalu, ibumu bagaimana?”
”Ibu cuma tersenyum.”
Ragaku merasa terhempas untuk kedua kalinya. Aku tidak bisa membayangkan senyum seorang ibu ketika aku sedang menyakitinya. Purnomo sudah tidak bisa membendung air matanya. Anak jawara itu menangis tergugu. Ia menyesali kejadian itu seumur hidupnya, meskipun peristiwa itu tidak mengakibatkan kematian ibunya, karena yang terpanah waktu itu bagian betis, hingga tembus.
Cerita selanjutnya, Purnomo tersadar ketika mendengar teriakan ayahnya. Purnomo langsung lari kembali ke hutan dan tertangkap di sana. Selanjutnya ia digelandang ayahnya, atas saran kerabatnya yang ada di Karawang, Purnomo dikirim ke sebuah pesantren di wilayah Garut.
Kami terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku jadi teringat ibu di rumah. Iwan masih menyeka air matanya. Kutelusuri ingatanku, kubongkar memori otakku, mencari kejadian yang telah menyakiti ibu. Peristiwa yang dialami Purnomo pasti sangat membekas, ia satu-satunya anak lelaki dari tujuh bersaudara, ia memiliki tiga orang kakak perempuan dan tiga orang adik perempuan. Putera kesayangan. Ibunya selalu tersenyum, meski Purnomo telah menyakitinya. Mungkin, jika itu terjadi padaku, akupun akan menyesalinya seumur hidupku.
”Sep, Pulr, besok aku pulang dulu. Kalian mau ikut?”
Iwan menyeka air matanya.
”Kamu ingat ibumu Wan?”
”Bukan. Balrang daganganku habis.”
Bletak!!! Bletak!!!
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar