Cerita masa kecil Purnomo sangat menakutkan, benar-benar membuatku
merinding, penuh dengan kisah-kisah mistis. Jauh berbeda dengan masa kecilku,
kisah mistis hanyalah sebaris dongeng agar kami takut dan menurut. Bola api
santet merupakan pemandangan biasa baginya, pertarungan dengan berbagai macam
jenis makhluk halus pernah ia lakoni.
Layaknya kisah seribu satu malam, kisah hidupnya tidak pernah berakhir,
selalu ada kisah yang membuatku penasaran. Malam ini pun ia mulai bercerita
lagi.
”Dulu,”
Tentu saja sewaktu Purnomo masih Sekolah Dasar.
”Aku punya dua jin.”
”Jeans? Aku juga punya. Kalau
kalian butuh, aku punya chanel distlributor
jeans yang sangat mulrah.”
Iwan yang di otaknya cuma bisnis itu menyela. Ia belum tidur seperti
biasanya. Agaknya ia girang bukan main, ia sekarang lebih santai dari biasanya,
itu karena barang dagangannya tinggal sedikit. Beberapa hari ini jualannya
laris manis, dengan laba yang lumayan, sudah cukup untuk menutupi kerugian
akibat kehilangan dua potong jaket kulitnya. Bahkan lebih.
”Bukan jeans, tapi jin. Makhluk
halus!”
”Astaghfilrullaah!
benar Pulr?”
Iwan terperanjat, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu turun dari ranjang,
ikut bergabung bersama kami, duduk bersila di lantai kamar. Malam sebelumnya ia
tidak pernah mendengar kisah Purnomo, karena ia sudah tertidur pulas setiap
Purnomo mulai bercerita.
”Wajah mereka sangat menakutkan, kulit mereka hitam. Kulit si Irvan mah tidak ada apa-apanya dibanding
mereka.”
Kami nyengir, lumayan sedikit intermezo untuk menghilangkan rasa takut.
”Salah satunya bermata besar, lidahnya menjulur panjang ke bawah.”
Iwan mengepalkan tangan lalu meletakkannya di mata, kemudian menjulurkan
lidah, membayangkan wajah jin itu. Ia sudah mendapatkan gambaran bentuk wajah
jin itu. Dirinya sendiri. Ia merinding. Perlahan Iwan menggeser duduknya
semakin mendekatiku.
”Satunya lagi bertaring panjang seperti pedang, mencuat dari mulutnya hingga
perut. Terkadang ia memegang kedua taringnya ketika berbicara.”
Iwan semakin merinding. Lutut Iwan sudah menempel dengan lututku.
”Mereka mau disuruh apa saja.”
”Apa saja, Pulr?”
”Ya, apa saja. Apa saja yang kuinginkan selalu mereka kabulkan. Tapi, dulu
keinginanku tidak macam-macam, karena aku masih anak kecil, keinginanku hanya
sebatas mencuri uang dan menjaili orang yang kubenci. Itu saja.”
Aku dan Iwan berpandangan. Kami berharap bukan dari kalangan orang-orang
yang dibenci Purnomo. Kalo urusan jail dan menjaili, aku jadi curiga,
jangan-jangan Rais dan Taufik adalah jelmaan dua jin Purnomo.
”Sekarang mereka masih ada?”
”Masih. Di kampungku sana, di Ogan Komering Ilir.”
Lutut Iwan mulai menjauhi lututku.
”Setelah aku tahu itu perbuatan syirik,
kulepas mereka, kuusir mereka supaya jangan mendekatiku lagi. Tapi mereka
selalu mendatangiku.”
”Tunggu, tunggu, tunggu. Maksudmu, mereka jauh-jauh dari kampungmu datang
ke Garut, ke pesantren kita?”
Purnomo mengangguk.
”Tuh kan, Sep!”
Iwan langsung melompat ke tengah dan duduk di antara aku dan Purnomo. Kami
cukup kewalahan menarik Iwan agar duduk di tempatnya semula.
”Tipu daya syethan memang hebat, seolah aku seorang tuan dan mereka
budakku, hakikatnya merekalah tuannya, dan aku budak mereka.”
Susah sekali meyakinkan Iwan bahwa dua jin itu tidak pernah nonggol lagi –
padahal di sekitar kita masih banyak jin yang lain –. Akhirnya Purnomo
melanjutkan ceritanya setelah Iwan kembali ke tempat duduknya.
Dua jin itu memaksa Purnomo agar tetap menjadi tuan mereka, Purnomo
menolak. Mereka tetap memaksa hingga terjadi pertarungan, seperti pertarungan
mereka dulu ketika Purnomo menginginkan dua jin itu menjadi budaknya. Dua jin
itu kalah, akhirnya mereka tidak pernah mendatangi Purnomo lagi.
”Ada satu peristiwa yang tidak pernah bisa kulupakan? Peristiwa yang
akhirnya membawaku ke pesantren ini.”
Purnomo mulai berkisah lagi. Sejak ia memiliki dua jin bermuka jelek itu,
ia gampang marah, semakin sombong. Hingga suatu saat Purnomo belajar memanah,
ia sudah mahir memanah objek tidak bergerak. Ia ingin belajar memanah objek
bergerak. Ia pun pergi ke hutan mencari objek latihan, burung, kijang, babi
atau apa saja yang bergerak. Seharian mencari sasaran, tidak seperti biasanya,
ia tidak menemukan satupun binatang. Purnomo kesal, ia pun pulang ke rumah.
Begitu sampai di halaman rumah, ia melihat sasaran bergerak.
”Kamu panah Pur?”
Purnomo mengangguk, tapi kedua matanya berkaca, lalu menunduk, dua butir
cairan air mata menetes dari sudut matanya. Ia terisak. cepat ia menyekanya. Aku
dan Iwan saling pandang, satu kalipun kami belum pernah melihat Purnomo sedih,
apalagi menangis. Aku terdiam, menunggu kelanjutan kisahnya.
”Kenapa Pur?”
Aku tidak sabar. Purnomo menatapku, kedua matanya masih berkaca.
”I, ibu, itu ibuku. Sep.”
”Ibu? Kenapa ibumu?”
”Yang kupanah itu ternyata ibuku.”
Kutarik nafas dalam-dalam, ragaku terasa terhempas, antara percaya dan
tidak akan omongannya. Kedua mataku panas, kilatan air mata menghalangi
pandanganku. Iwan lebih lagi, ia ekspresif
sekali, ketika kulirik ia tengah sibuk menyeka air matanya yang bercucuran. Ia
gampang sekali tersentuh hingga ia tidak mampu berbicara lagi.
”Lalu, ibumu bagaimana?”
”Ibu cuma tersenyum.”
Ragaku merasa terhempas untuk kedua kalinya. Aku tidak bisa membayangkan
senyum seorang ibu ketika aku sedang menyakitinya. Purnomo sudah tidak bisa
membendung air matanya. Anak jawara itu menangis tergugu. Ia menyesali kejadian
itu seumur hidupnya, meskipun peristiwa itu tidak mengakibatkan kematian
ibunya, karena yang terpanah waktu itu bagian betis, hingga tembus.
Cerita selanjutnya, Purnomo tersadar ketika mendengar teriakan ayahnya.
Purnomo langsung lari kembali ke hutan dan tertangkap di sana. Selanjutnya ia
digelandang ayahnya, atas saran kerabatnya yang ada di Karawang, Purnomo
dikirim ke sebuah pesantren di wilayah Garut.
Kami terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku jadi
teringat ibu di rumah. Iwan masih menyeka air matanya. Kutelusuri ingatanku,
kubongkar memori otakku, mencari kejadian yang telah menyakiti ibu. Peristiwa
yang dialami Purnomo pasti sangat membekas, ia satu-satunya anak lelaki dari
tujuh bersaudara, ia memiliki tiga orang kakak perempuan dan tiga orang adik
perempuan. Putera kesayangan. Ibunya selalu tersenyum, meski Purnomo telah
menyakitinya. Mungkin, jika itu terjadi padaku, akupun akan menyesalinya seumur
hidupku.
”Sep, Pulr, besok aku pulang dulu. Kalian mau ikut?”
Iwan menyeka air matanya.
”Kamu ingat ibumu Wan?”
”Bukan. Balrang daganganku habis.”
Bletak!!! Bletak!!!
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar