Tangan Irvan cekatan menggunting lembaran kertas scotlite
berwarna kuning, jemarinya ligat memainkan gunting, mengikuti lekukan sudut demi
sudut dan lubang-lubang huruf, selihai ia menyanyikan lagu 'Begadang' yang
mengalun dari tape recorder kecilnya.
Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya
Begadang boleh saja, kalau ada perlunya
Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya
Begadang boleh saja, kalau ada perlunya
.....
Pikiranku berkelana ke masa Sekolah Dasar dulu. Film-film Rhoma Irama
termasuk dalam jajaran film favoritku, selain Megaloman, Gaban, Sarifan dan Google V. Film Bang Haji selalu diputar
setiap kali ada pertunjukan layar tancap di kampungku, aku selalu setia hadir,
meski harus melewati jalan sepi dekat pekuburan umum.
Sejak masuk pesantren, semua kenangan manis itu seolah terhapus dan tidak
perlu diingat-ingat lagi, karena aku harus sibuk berkutat dengan pelajaran yang
menumpuk.
"Sep, kamu pernah begadang?"
Pertanyaan Irvan langsung membuyarkan seluruh lamunanku. Aku tersenyum lalu
kuputar otak, kuingat masa kecilku lagi. 'Begadang, begadang, begadang'
kuaduk-aduk arsip memori masa menyenangkan itu. Rasanya aku pernah begadang,
tapi kapan?
Ketika hampir putus asa, aku ingat, justeru aku begadang sehabis nonton
film bang Haji yang berjudul BEGADANG itu. Film selesai jam
dua belas malam, pulangnya aku dan dua temanku harus berlari ketakutan ketika
melewati jalan di sebelah pekuburan umum. Aku bahkan lari sambil
memejamkan mata saking takutnya. Padahal waktu itu malam minggu. Sedangkan
konon katanya menurut kepercayaan di
kampungku, Syethan hanya keluar setiap malam Jum’at.
"Pernah! sampai jam satu!"
Irvan tersenyum, gigi putihnya sangat kontras di antara kulitnya yang
gelap.
Aku selalu tersenyum jika mengingat kejadian itu lagi. Waktu itu akhirnya
kami memilih tidur di pos ronda. Karena begadang itu, kami tertidur pulas
hingga dibangunkan jam enam pagi oleh kang Maman, tukang bubur yang biasa
mangkal di depan pos ronda. Waktu shalat shubuh sudah lewat, hari sudah mulai
terang. Paniknya aku waktu itu. Aku tidak shalat shubuh, aku tidak pernah cerita pada Bapak dan Ibu
kejadian itu, terutama aku tidak shalat shubuh, karena waktu pelajaran tentang shalat shubuh
kesiangan, aku tidak hadir.
"Itu mah bukan begadang atuh."
Aku manggut-manggut. Aku pun bertanya, Irvan menjawab, kesimpulanku,
menurut kamus hidupnya, seseorang bisa dikatakan begadang jika tidak tidur
semalam suntuk hingga shubuh menjemput. Padahal menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang sudah diteliti dan diakui para ahli, begadang adalah berjaga
tidak tidur sampai larut malam. Aku ingin berteriak, ’Ingat Van, sampai larut
malam, bukan sampai shubuh. Kalau tidak percaya, coba buka Kamus mahal itu’. Tapi kuakui, Irvan memang hebat, untuk
urusan begadang ia punya kamus sendiri. Lalu apa sebutannya untuk yang tidak
tidur sampai jam satu?
“Setengah begadang.”
Jawabnya enteng ketika kutanyakan, ia nyengir. Jari-jari tangannya terus
menari-nari di antara lipatan, lekukan kertas scotlite yang mulai berbentuk huruf.
"Sep, percaya tidak? Aku pernah tidak tidur tiga hari tiga
malam."
Aku tersentak. Kulihat mimik mukanya, serius. Aku pernah mendengar cerita
orang yang mampu tidak tidur berhari-hari, tapi baru kali ini aku berhadapan
langsung dengan pelakunya. Irvan Permana. Sebuah pertemuan dengan orang penting
yang tidak pernah kuimpikan.
"Ente serius?"
Irvan mengangguk. Aku geleng-geleng kepala, entah karena kagum atau merasa
aneh dengan kelakuannya. Tapi sekali lagi kuakui, temanku ini memang hebat
untuk urusan begadang. Ia memang pakarnya. Bang haji, penyanyi lagu ’Begadang’
itu, pasti kalah. Lihat saja perlengkapan yang sudah dia siapkan.
Satu, kupluk sudah bertengger di
kepalanya.
Dua, jaket tebal ia sampirkan di talang ranjang kayu, sepertiga akhir malam
akan sangat dibutuhkan untuk mengusir dingin.
Tiga, tape recorder diletakkan di atas ranjang kayu, dekat
telinganya. Kami duduk di lantai kamar beralaskan karpet hijau. Satu album lagu
Rhoma Irama sudah mengalun dari sana, di sebelahnya dua album Rhoma Irama
lainnya menanti giliran, lengkap dengan cadangan empat buah baterai A3 dari merk yang terkenal mahal.
Empat, radio kecil siap menggantikan rasa bosannya. Layaknya makanan, jika
berlebihan pasti akan membuat bosan, bahkan muntah. Lagu pun begitu, makanya
hati-hati dengan lagu, jika diputar berulang-ulang akan membuat pening. Begitu
kira-kira pesan tersirat dari persiapan begadang ini. Obatnya, selingi dengan
siaran radio. Irvan memang jenius.
Lima, termos besar berisi air panas, di sebelahnya satu plastik kopi bubuk
hitam dan satu plastik gula pasir. Lalu, dua gelas kopi panas dengan
masing-masing satu sendok dan tatakan, asap mengepul dari dua gelas kopi panas
itu. Kenapa harus dua gelas? Apakah syarat sukses begadang harus menyediakan
dua gelas? Itu yang akan kutanyakan nanti.
"Cuma ingin tahu saja rasanya tidak tidur berhari-hari."
"Tadinya mau lebih dari tiga hari,
tapi aku tidak sanggup."
Tuh kan bener, dia memang benar-benar saraf.
Tapi aku kagum, ia layak diberi gelar master of begadang.
Ketika kutanyakan akibat tindakan nekadnya
itu.
"Pusing, pening, mukaku pucat seperti kurang darah. Setiap kaki kuinjakkan,
bumi terasa bergoyang. Untuk menormalkan kondisi badanku, aku harus tidur lebih
dari lima belas jam setiap hari selama seminggu. Tapi efek peningnya masih
berasa sampai sebulan."
Aku berdecak kagum. Kali ini bukan untuk Irvan, tapi untuk bang Haji, dalam
otakku seolah ia bersabda :
"Kalau terlalu banyak begadang
Muka pucat karena darah berkurang
Kalau sering kena angin malam
Segala penyakit akan mudah datang
Darilah itu sayangi badan
Jangan begadang setiap malam"
"Kamu mau merasakan begadang?"
Irvan menyodorkan satu gelas kopi panas ke dekatku, satu gelas lagi ia
tarik ke dekatnya. Aku tertegun, ajakan yang tidak pernah kuduga sebelumnya,
dan aku baru paham maksud dua gelas kopi panas itu.
"Benar-benar
begadang Sep, bukan setengah begadang, he."
Senyumnya itu ledekan
buatku. Asal kamu tahu saja Van, aku masih berpegang teguh pada pendapat para
ahli, bahwa yang pernah kulakukan itu adalah begadang, bukan setengah begadang.
Tangan Irvan masih sibuk menggunting kertas scotlite,
lalu mengkeluknya hingga menjadi sebuah huruf. Huruf A, kemudian L, lalu I, dan
seterusnya hingga huruf-huruf itu, nanti akan menjadi kata AL-ITTIHAD.
"Gimana
Sep?"
Tanyanya kembali,
pandangannya masih tertuju ke barisan huruf yang sudah selesai ia buat. Lalu ia
mengambil huruf D, ia julurkan tangannya menjauhkan huruf itu dari
pandangannya, ia pejamkan sebelah matanya, seolah sedang meneliti, mengkaji
huruf itu, mencari bagian-bagian yang belum sempurna. Huruf itu diputar lalu dibalik, lalu dengan satu
gerakan, ia menghaluskan bagian yang kurang balance dengan gunting di
tangan kanannya.
"Perfecto!"
Lagunya. Menyebalkan.
Aku belum bisa menjawab ajakan itu. Efek begadang sangat dahsyat. Aku
teringat kembali kejadian tidur di pos ronda itu. Shalat shubuh sudah lewat.
Akhirnya aku pulang, karena masih ngantuk kulanjutkan tidurku di rumah, pulas
sekali, hingga menjelang ashar. Jika ibuku tidak memercikkan air di wajahku,
shalat dzuhur pasti lewat juga. Itu baru efek begadang sampai jam satu. Jika
sampai shubuh, pasti efeknya akan lebih dahsyat.
"Kudengar kamu mahir kaligrafi Arab."
"Bukan mahir, tapi bisa."
"Ya sama saja. Ayolah Sep, bantu aku membuat kaligrafi Arab. Aku tidak begitu mahir membuat kaligrafi Arab.
Keahlian kamu sangat dibutuhkan untuk suksesnya acara besok."
Mendengar kalimat ‘suksesnya acara besok‘, aku mulai ragu.
"Coba kamu bayangkan Sep, Kaligrafi huruf Latin dan Arab dipadukan.
Wuiih sangat indah Sep. Kamu tau Sep? Pada acara besok, Semua kamera akan
tertuju ke atas panggung. Dan tau enggak Sep? "
Irvan menyeruput kopi bagiannya. Aku menunggu kelanjutan ucapannya.
"Background panggung itu adalah kaligrafi
kita. Mereka mengabadikan
karya kita Sep. Karya kita akan terpampang dalam photo kenangan teman-teman
kita. Ingat Sep! karya kita! Karya kita!"
Irvan
merentangkan kedua tangannya ke samping. Semangat sekali ia. Benar-benar
membakar semangatku untuk ikut berkarya. Mungkin itu alasan Irvan rela membuat
dekorasi acara pernikahan atau sunatan dengan bayaran kecil. Kebanggaan dan
kepuasan. Dan, tahu tidak? Sementara ini cita-cita Irvan tidak muluk-muluk, ia
hanya ingin jadi tukang dekorasi.
"Oke, aku siap begadang!"
Akhirnya aku tertular penyakit saraf
Irvan. Selain penasaran ingin merasakan efek begadang semalam suntuk, aku pun
ingin ikut berkarya. Di samping itu pengalaman begadang kali ini, akan menjadi
kisah bersejarah yang akan kuceritakan pada anak cucu kelak.
"Naaah, gitu dong!!"
Irvan tersenyum lebar sambil menggeserkan kopi panas bagianku lebih dekat
lagi. Aku langsung menyambutnya, lalu menyeruput kopi itu sambil menunjuk tape
recorder kecil yang masih menyenandungkan lagu Rhoma Irama. Semangat!
"Oke, kita lanjut album Rhoma berikutnya!"
"Bukaaan. maksudku, ganti siaran radio!!! Bosennn!!!"
"Oooh..."
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar