Malam Jum'at Kliwon jam 11 malam.
Malam ini begitu dingin, jaket tebalku hanya mampu membuat badanku sedikit
hangat. Hawa dingin sesekali terasa menembus jaketku. Aku dan Purnomo berjalan
menelusuri jalan tanah. Gelap, hanya cahaya purnama yang menerangi jalan.
Setiap malam jum'at aku dan beberapa temanku berlatih beladiri di luar
komplek pesantren. Entah kenapa malam ini teman-temanku yang lain malas
berlatih, hingga yang tersisa hanya aku dan Purnomo saja. Ia sangat bersemangat
berlatih. Gen jawara benar-benar mengalir di tubuhnya.
"Kuk…kuk…kuuuuuk!!!"
Burung hantu terus menerus mengeluarkan suara yang menakutkan. Bulu kudukku
berdiri. Kurasa burung itu terus membuntuti kami berdua. Sejak melewati komplek
pekuburan terluas di Tasikmalaya, burung itu seolah menyambut kami, lalu
mengikuti.
Aku melirik Purnomo yang berjalan di sebelahku, ia terlihat santai-santai
saja. Wajahnya tidak memperlihatkan rasa takut sedikitpun. Aku sedikit merasa
tenang.
“Betul-betul anak jawara.” Batinku.
Kami terus melangkah menyusuri jalan setapak yang diapit pekuburan yang
sangat luas di sebelah kanan, dan rel kereta api di sebelah kiri. Di seberang rel
kereta api terdapat perkampungan penduduk.
Sebenarnya bisa saja kami pulang melewati jalan kampung. Tapi akan memakan
waktu lebih lama. Jika melewati jalan pintas yang kami lewati sekarang, cukup
setengah jam saja untuk mencapai pesantren. Sedangkan jika melewati jalan
kampung, akan membutuhkan waktu lebih dari sejam.
Set!!!
Bayangan putih berkelebat tepat di depan kami berdua.
"Astaghfirullaah!!"
Pekikku kaget. Kulirik Purnomo. Aku bingung ia masih terlihat santai.
Kupikir ia tidak melihat kelebat bayangan putih tadi.
"Tenang Sep"
"Kamu lihat juga?"
Purnomo mengangguk. Ia menghentikan langkahnya, akupun sama. Purnomo
memutar badannya, melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru mata angin,
tangannya sigap mengeluarkan pedang naga
puspa. Aku heran, sejak kapan Purnomo membawa pedang yang biasanya hanya
menjadi pajangan di kamar asrama.
Pedang Naga Puspa terhunus.
Purnomo memasang mata dan telinga, memperhatikan seluruh pergerakan yang ada di
sekelilingnya, sekecil apapun. Akupun
mengikuti gerakan Purnomo. Kami saling membelakangi, mirip dua pendekar di
film-film yang pernah kutonton waktu Sekolah Dasar dulu.
"Keluar kalau berani!!!" Teriak Purnomo
"Jangan nantang begitu dong. Kalau benar-benar keluar gimana?"
Aku tidak setuju.
"Akan kubabat pake si Puspa"
Purnomo menunjukkan pedangnya.
”Naga Puspa Pur, bukan Puspa!!”
Purnomo nyengir.
"Kamu enak bawa pedang. Ane gimana nih?"
Purnomo jongkok mengambil kayu di depannya, matanya tetap tajam mengawasi
sekitarnya.
“Nih, kamu pakai kayu saja”
Tadinya aku berharap Purnomo menyerahkan pedang Naga Puska padaku. Daripada tidak ada senjata sama sekali.
Sebagaimana pepatah mengatakan, tidak ada pedang, kayu pun jadi.
"Kuk…kuk….kuuuukk!!"
Suara burung hantu terdengar lagi, langsung membuat bulu kudukku berdiri.
Ssssss…
Aku merasakan hawa dingin di atas kepalaku. Bau busuk pun menyeruak,
menusuk-nusuk lubang hidungku. Aku dan Purnomo repleks melihat ke atas.
Terlihat kain putih kapan lusuh meluncur ke bawah, tepat ke atas kepala kami.
"Awas Sep!!"
Purnomo refleks mendorong badanku hingga aku tersungkur ke depan. Ketika
aku membalikkan badan.
"Waaa!!"
Sesosok makhluk putih terbungkus kain kapan putih berdiri di antara aku dan
Purnomo yang masih terbaring.
"Po… po… pocoooong!!" teriakku
Sialnya lagi, makhluk itu menghadap ke arahku. Bukan Purnomo. Sebaris muka
pucat terlihat di antara kain kapan yang terbuka sedikit di bagian atas. Kedua
matanya bersinar hijau menatap tajam ke arahku. Makhluk itu melayang ke arahku.
Bukan lompat-lompat seperti yang pernah kulihat di
film-film horror. Film-film itu memang benar-benar membodohi umat.
Aku merangkak mundur.
Purnomo sudah berdiri di belakang makhluk itu dengan si naga puspa terhunus. Ingat baik-baik Pur. Sebutkan nama pedangmu
dengan lengkap. Naga Puspa, bukan Puspa.
Gerakanku terhenti ketika sesuatu membelit tubuhku, panjang seperti ular, kenyal berwarna putih pucat dengan lendir
merah, dan…, sangat bau.
”Ueek” Aku sampai muntah.
Ketika aku berbalik.
"Waaa!!!"
Untuk kedua kalinya aku dibuat kaget.
Sesuatu yang melilit tubuhku itu ternyata usus yang terburai dari tubuh
makhluk itu. Aku semakin panik. Kupukulkan kayu yang dari tadi kupegang sekuat
tenaga. Bukannya mengendor, lilitan itu semakin mengencang. Aku kehabisan
tenaga, dadaku sesak karena sulit bernafas. Aku Pasrah.
Tiba-tiba
Tebss!!!
Naga Puspa di tangan Purnomo menebas usus yang membentang
kencang. Aku terlempar ke belakang. Lilitan usus di tubuhku merenggang, jatuh
ke tanah lalu menghilang.
Makhluk itu marah. Sinar matanya menjadi merah. Ia menghadap Purnomo yang
terlihat santai saja.
Sreetttt!!!
Serabut usus meluncur deras ke arah Purnomo yang langsung mengangkat kedua
tangannya agar tidak terkena lilitan. Ia biarkan badannya terlilit, lalu
ditarik paksa ke arah makhluk itu.
Begitu jarak mereka hanya setengah meter. Tanpa basa-basi lagi Purnomo
langsung membabat, membacok, menebas tubuh makhluk itu. Darah hitam muncrat,
disertai nanah kuning yang berbau busuk. Membuat kain kapan lusuh itu semakin
kotor.
Purnomo betul-betul tidak memberi kesempatan pada makhluk itu untuk
membalas. Berpuluh-puluh bacokan terus menghujani tubuh makhluk itu. Sampai
akhirnya Purnomo menebas batang kepala makhluk itu. Kepala itu langsung
terpelanting, jatuh menggelinding tepat ke arahku.
Aku tidak tinggal diam, aku ayunkan kaki kananku ke belakang, siap
menendang kepala itu. Tapi, begitu kepala yang menggelinding itu berhenti tepat
di depanku, yang kulihat hanyalah bongkahan batang pohon pisang sebesar kepala.
Tubuh makhluk itu sudah berubah menjadi batang pohon pisang yang
tercabik-cabik. Usus yang melilit tubuhnya berubah menjadi batang daun pisang
dan akar-akar pohon. Purnomo dengan santainya membersihkan tubuhnya.
Kami bermaksud melanjutkan perjalanan, tapi tiba-tiba angin kencang
berhembus lagi, mengoyangkan pohon-pohon yang ada di depan kami. Anjing
melolong pilu, lolongan yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri.
Purnomo merangsek satu langkah di depanku.
"Tahan Sep!"
"Ada apa?"
"Kita kedatangan jin iseng lagi"
"Maksudmu?"
"Diam! Liat rimbunan pohon itu!"
Aku melihat ke rimbunan pohon yang tadi bergerak-gerak ditempa angin
kencang. Tiga bayangan putih melesat menuju kami.
"Astaghfirullah!!"
Tiba-tiba aku merasa pusing. Melawan satu saja aku sudah keteteran,
sekarang sekaligus tiga makhluk. Bau busuk mulai menusuk hidung lagi. Aku
berusaha menutup hidung, tapi bau itu tetap terasa. Hingga akhirnya aku
tersentak bangun.
"Alhamdulillah. Ternyata
mimpi"
Buku kudukku kembali merinding, karena bau busuk itu masih tercium. Ketika
kulihat sebelah.
"Dasar rambut landak!!"
Kaki iwan yang cantengan hampir
mendarat di wajahku. Wajahnya yang innocent
membuatku tidak tega untuk menyingkirkan kaki itu dengan kasar.
Libur Iedul Adha tinggal tiga hari lagi. Setiap malam, sebelum tidur, kami
selalu berbagi kisah masa kecil kami. Tapi Purnomo lah yang paling banyak
berkisah tentang masa kecilnya, karena dari kami bertiga, hanya kisah Purnomo
lah yang paling menarik. Merinding, adrenalin terpacu, kagum, haru, lucu, semua
berbaur. Kali ini, kisah-kisah mistis Purnomo ketika masih kecil terbawa
mimpi.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar