Hari sabtu, seminggu setelah libur semester yang jatuh pada hari yang sama.
Sabtu 21 Mei 1994. Tidak terasa libur yang cukup panjang sudah selesai.
Santri-santri dari berbagai daerah mulai berdatangan sejak hari jum’at kemarin,
bahkan santri yang berasal dari luar pulau Jawa sudah datang sejak Kamis.
Pesantren kembali ramai seperti biasanya.
Rais? Jangan tanya dia, dia pasti menambah masa liburannya. Kalau tidak
datang hari minggu, mungkin hari senin dia baru datang. Aku sendiri tidak tahu,
apa sebenarnya yang dilakukannya di Bandung sana.
Hari ini, kegiatan belajar mengajar berjalan monoton, pengaruh libur
panjang masih tampak jelas di wajah para santri. Meskipun menurut teori,
liburan akan membawa pengaruh positif pada peningkatan daya kerja otak, dan
membuat badan sehat. Tapi, kenyataannya, libur membuat daya juang otak menurun,
bahkan cenderung runtuh.
Jam-jam belajar yang membosankan akhirnya berlalu. Setelah shalat dhuhur
aku kembali ke Negeri Atap Awan. Kulirik kamar terdekat dari tangga. Taufik
sedang membereskan lemari pakaiannya, sedangkan Zaki sedang membenahi ranjang
kayunya, bersiap untuk tidur siang. Begitu masuk kamarku, kudengar Iwan sedang
bercerita tentang pengalamannya patroli di asrama putri. Semangat sekali ia
bercerita.
”Benar Sep, si Iwan ikut patroli?”
Aku mengangguk, membenarkan cerita Iwan.
”Yaa, kalau tau begitu. Aku juga mau tinggal di sini selama liburan.”
Irvan terlihat sangat kecewa.
”Sudahlah Van, tidak ada yang istimewa dengan asrama putri.”
Iwan mau menyela, tapi kutahan. Ia tidak tahu, ceritanya akan membuat Irvan
sedih. Sedikit simpul misteri tentang Irvan mulai terjawab. Aku yakin, yang
membuatnya murung selama ini adalah wanita. Salahnya, ia hanya mau berbagi
kisah dengan buku kecilnya.
”Kamu pernah memperhatikan bangunan kelas di bagian barat, Van?”
Irvan mengangguk.
”Asrama putri tidak jauh berbeda dengan bangunan itu, hanya saja terdiri
dari petak-petak kamar kecil, dan di tengahnya ada taman kecil. Lebih indah
taman di alun-alun Garut daripada taman kecil itu.”
”Oo gitu ya Sep?”
Aku tidak berbohong pada Irvan atau pada siapapun. Karena yang membuat
istimewa tempat itu adalah para penghuninya. Coba bayangkan jika penghuni
tempat itu adalah kami, para santri putera. Tentu tempat itu akan menjadi
tempat yang sangat biasa. Bahkan mungkin, dilirikpun tidak.
Kawan, bukan aku tidak bersyukur bisa patroli ke asrama putri. Kuakui, aku
beruntung sekali bisa masuk ke sana. Tapi kini, apapun yang ada di balik pintu
hijau muda itu, sudah bukan misteri lagi bagiku. Sekarang, ada yang lebih
membuatku penasaran. Purnomo. Aku lebih suka membicarakan sosok misterius
temanku yang satu ini, daripada membicarakan asrama putri lagi.
Kisah masa kecil Purnomo masih membuatku takjub, tapi sekaligus ragu. Harus
ada orang yang memastikan ceritanya itu shahih.
Walau bagaimanapun, perkelahian melawan pocong, genderowo dan makhluk halus
lainnya bagiku masih asing, tidak masuk akal. Mungkin, karena aku tinggal di
lingkungan yang tidak terlalu membesarkan hal-hal mistis. Tapi, jika dilihat dari
karakter Purnomo yang tidak pernah berbohong, bicara apa adanya, tujuh puluh
lima persen yakin, semua kisahnya itu benar adanya.
”Bener Sep, Dia memang jago berkelahi.”
Komentar Irvan ketika aku bercerita tentang Purnomo. ia sudah mulai
melupakan kisah patroli kami. Iwan beranjak dari duduknya, lalu mengepak barang
jualannya. Agaknya Iwan lebih tertarik membicarakan asrama putri daripada
membicarakan Purnomo. Maaf kawan, sebagai lelaki sejati, ini bukan masalah
normal atau tidak normal. Aku masih normal.
Irvan lalu bercerita tentang perkelahian Purnomo melawan tiga preman pasar.
Waktu itu, ia, Purnomo dan Rais sedang naik angkot, tujuan mereka pasar. Begitu
tiba di pasar dan hendak turun dari mobil angkot, lima preman menghadang
mereka. Dengan mata beler karena
mabok, mulut bau alkohol, mereka meminta tarif turun dari angkot, tidak
tanggung-tanggung lima ribu rupiah per orang. Tentu saja Purnomo tidak terima
dengan tarif ilegal itu. Begitu juga Rais, ia paling tidak suka dengan ketidak
adilan dan tindakan dzolim.
”Terus?”
Iwan menghentikan aktifitasnya. Ia berbalik, lalu kembali ke tempat
duduknya semula. Sorot kedua matanya berubah, di balik matanya yang sipit, ada
marah di sana, ada dendam yang membara. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang
terjadi dengan Iwan.
Cerita berlanjut.
Purnomo turun, ia tidak mau mengeluarkan uang, ia biarkan saku baju dan
celananya digerayangi para preman. Begitu juga Rais. Tidak lama, hanya hitungan
detik, dua orang tumbang kesakitan, satu preman memegang ulu hatinya, satu lagi
memegang, maaf, alat vitalnya.
Raisul Balad tidak mau ketinggalan, meskipun badanya kecil dengan bobot 45
kg tinggi 155 cm, nyalinya tidak bisa diragukan lagi. Ia melompat ke preman paling
besar, kira-kira tingginya 170 cm dan bobotnya lebih dari 1 kwintal. Mungkin
bosnya. Wajah preman itu diacak-acak dengan kukunya hingga merah-merah,
beberapa bagian bahkan sampai berdarah-darah.
"Katanya jurus kunyuk ngacak sesajen.”
Finishing terakhir dilakukan Purnomo, bonus spesial untuk
sang bos. Ulu hati dan, sekali lagi maaf, alat vital. Badan berotot penuh tato
itu tumbang, pingsan.
Aku tertawa lepas. Iwan juga, ada rasa puas di balik tawanya. Kata Irvan
selanjutnya, ada percakapan rahasia di antara mereka dengan dua preman yang
belum pingsan.
”Percakapan Rahasia?”
”Ya, aku hanya melihat Purnomo menunjuk-nunjuk muka preman itu.”
Percakapan rahasia. Itu pasti sebuah ancaman. Ancaman seperti apa, aku
tidak tahu. Itu rahasia mereka.
”Dulu, sudah lama sekali, aku pernah melihat Purnomo berkelahi sendirian.”
Irvan bercerita lagi. Iwan mulai mengepak barangnya lagi. Mungkin, kisah
tentang tiga preman itu yang membuat Iwan tertarik bergabung dalam obrolan
kami. Bukan kisah kehebatan Purnomo.
”Maksudmu?”
”Tadinya kukira dia sedang latihan. Aku yakin dia sedang berkelahi dengan
sesuatu yang tidak kita lihat.”
Aku jadi teringat cerita Purnomo, ia pernah berkelahi dengan dua jin yang
menjadi pelayannya. Mungkin, perkelahian dengan dua jin itu sempat dilihat
Irvan. Aku dibuat terkagum-kagum dengan kisah hidup Purnomo. Hingga aku
mencapai pada satu kesimpulan. Purnomo tidak takut pada apapun.
”Setiap manusia itu punya kelemahan!”
Taufik Husein sudah muncul di pintu, tangannya memegang kotak makanan.
Biasanya kedatangannya tidak kami harapkan, selalu saja ada yang menjadi korban
keisengannya. Tapi kali ini lain, kami sangat senang dia datang, karena
tangannya memegang kardus kecil makanan oleh-oleh dari Bandung. Taufik langsung
duduk bergabung dengan kami, dan menyodorkan kardus itu. Iwan kembali
bergabung.
”Maksudmu?”
Tanya Iwan sambil mengambil satu kue dari dalam kardus kecil.
”Mungkin si Pur tidak pernah takut melawan apapun. Tapi, dia tetap manusia
yang memiliki kelemahan.”
Betul apa yang dikatakan Taufik. Tidak ada manusia yang sempurna. Pasti
Purnomo memiliki kelemahan, sesuatu yang membuatnya lari ketakutan. Manusia
super macam Superman saja memiliki kelemahan. Kryptonite.
"Apa kelemahannya?" Tanyaku. Pembicaraan ini menjadi lebih
menarik. Aku semakin penasaran untuk mengetahui jenis kryptonite untuk Purnomo.
"Pasti perempuan!"
"Itu mah ente, Van."
Irvan langsung tersenyum rapuh, wajahnya memerah, lalu tertunduk malu. Satu
simpul lagi terbuka. Aku semakin yakin wanita lah yang membuat Irvan lebih
banyak menyendiri, mengadukan semua masalahnya pada sebuah buku kecil.
”Bapaknya!”
”Bukan!”
”Ustadz Entang!”
”Bukan!”
”Ustadz Dzul!”
”Bukan!”
”Kucing!”
”Bukan!”
”.........!”
”Bukan!”
”.........!”
”Bukan!”
Tebak-tebakan berakhir.
"Terus apa kelemahan Purnomo?" Tanyaku semakin penasaran.
"Mau tau?"
Kami berpandangan, lalu mengangguk bersamaan. Kami benar-benar ingin tahu
apa yang membuat Purnomo takut.
"Tunggu nanti malam."
”Yaaa...!”
* * *
Malam yang kami tunggu pun datang. Ba'da isya kami sudah berkumpul di dalam
kamar, menunggu Taufik Husein membawa kryptonite
buat Purnomo.
Purnomo sengaja kami tahan hingga Taufik Husein datang. Caranya sederhana,
kami setengah memohon pada Purnomo agar menceritakan tentang perkelahiannya
dengan preman pasar. Mengalirlah cerita pertarungan itu langsung dari mulut
sang pelaku kejadian. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang membuatku penasaran,
karena tadi siang Irvan sudah menceritakan kejadian itu semuanya. Kami
pura-pura takjub, yang kami harapkan sekarang hanyalah Taufik Husein segera
datang. Itu saja.
Taufik Husein belum datang juga. Kisah perkelahian hampir khatam. Agar Purnomo tidak beranjak
pergi, aku harus mencari cara untuk mengulur waktu. Aku jadi teringat satu hal
yang tadi siang belum sempat kutanyakan pada Irvan. Posisi Irvan ketika sedang
terjadi perkelahian.
”Aku di dalam angkot, jadi pengamat.”
Jawab Irvan enteng. Karena jawabannya itu, ia didaulat menjadi Pembicara,
sebagai orang yang mengaku pengamat, ia harus mengomentari kejadian perkelahian
itu. Dengan tujuan yang sama sepertiku, mengulur waktu.
Beberapa menit penantian terasa sangat panjang, aku sudah kehilangan ide
untuk menahan Purnomo agar tidak beranjak dari tempatnya. Akhirnya santri
paling jail sedunia itu nonggol di depan pintu, memegang kotak makanan yang
tadi diberikan pada kami. Kali ini kotak itu diikat pakai karet gelang. Tentu
saja, aku yakin isinya berbeda. Taufik langsung menaruh kotak itu di depan
Purnomo.
Jantungku berdegup kencang, satu misteri lagi akan terungkap, rasa
penasaran akan terpuaskan. Mungkin, misteri dan rasa penasaran yang kurasakan
sekarang, sama persis dengan misteri dan rasa penasaran ketika aku ingin
mengetahui isi di balik pintu warna hijau itu.
"Snack nih?"
Tanya Purnomo, tangannya cekatan melepaskan karet gelang dari kotak.
Husen mengangguk, mulutnya tersenyum culas. Kalau Purnomo melihat, ia sudah
pasti tahu kalau dirinya sedang dijaili. Sayangnya pandangannya tertuju pada
kotak berisi kryptonite itu.
Sementara Purnomo membuka kotak, Husen mengambil ancang-ancang lari di
mulut pintu. Kami mendongakkan kepala ke arah kotak, penasaran. Tapi, kami tetap
menjaga jarak, takut. Bisa saja sesuatu di dalam kotak itu, adalah sesuatu yang
kami takuti juga. Bisa saja isinya ular, karena hewan itu tidak termasuk yang
kami sebutkan dalam tebak-tebakan tadi siang. Kalau singa, tidak mungkin masuk
kotak.
”Waaaa!!!!”
Purnomo menjerit, aku juga, Iwan juga, Irvan juga. Purnomo melemparkan
kotak itu ke udara. Kami pun terjengkang ke belakang. Reaksi yang tidak pernah
kuduga, Purnomo akan berteriak ketakutan seperti itu. Taufik Husein sudah
hilang dari pandangan kami.
"Huseeeeeeeen!! Awas kamu!!!"
Purnomo mengepalkan tangannya. Ia berdiri, lalu mengejar Husen yang sudah pergi entah ke mana, hanya
tawanya terdengar membahana. Kami tidak peduli mereka mau kejar-kejaran sampai
Bandung sekalipun. Yang kami pedulikan hanyalah kotak itu. Tentu saja
isinya.
Kotak itu mendarat tepat di atas bahuku, lalu menggelinding jatuh ke
tengah-tengah kami. Kami melongokkan kepala ke kotak yang sudah sedikit terbuka
itu. Tetap jaga jarak, takut. Dengan pulpen, Iwan mendongkel tutup kotak hingga
terbuka lebar. Seekor binatang berwarna coklat yang tidak asing lagi bagi kami,
merayap keluar kotak itu, menyelinap di antara karpet, lalu menghilang ke balik
lemari pakaian.
Kami berpandangan, mengerutkan dahi, tawa kami hampir meledak. Tapi Purnomo
keburu berdiri di mulut pintu. Mukanya memerah, entah malu atau marah, aku
tidak bisa membedakannya.
Kami berusaha menahan tawa, tapi sungguh, kami tidak bisa. Akhirnya kami
tertawa lepas diiiringi jitakan ringan di kepala kami satu per satu. Ternyata kryptonite itu hanya seekor kecoa.
* * *
Tadinya, yang menjadi misteri bagi kami adalah sesuatu yang membuat Purnomo
ketakutan. Tapi, setelah jawabannya terkuak, kecoa, misteri itu kini berlanjut.
Alasan Purnomo takut kecoa. Kami sepakat, itu menjadi rahasia kami bertiga.
Jika ada kesempatan, secara diam-diam, tentunya tanpa Purnomo, kami membahas kryptonite jenis baru ini.
”Pasti kecoa itu jelmaan dari ratusan jin.”
Komentar Iwan suatu saat.
”Mungkin Purnomo pernah mengadakan perjanjian tidak tertulis dengan kecoa.”
”Bisa jadi ia pernah iseng membunuh kecoa, terus dia merasa bersalah.”
”Barangkali.....”
Case closed!
Biarkan Purnomo vs kecoa tetap menjadi misteri. Hanya Purnomo dan kecoa lah
yang tahu alasannya. Hanya saja aku berharap, suatu saat Purnomo mau menceritakan
alasannya pada kami.
Kami tidak berani membahas kasus itu di depan Purnomo. Karena setelah
kejadian itu, Purnomo marah besar, peristiwa ini tidak pernah terjadi
sebelumnya. Taufik Husein diacuhkan cukup lama, hampir mendekati batas akhir
seorang muslim boleh memendam amarah. Tiga hari.
Dirayu dengan kata-kata puitis, Purnomo bukan tipe lelaki romantis, apalagi
yang merayu Taufik Husein, mungkin akan lain ceritanya kalau santri wanita yang
merayunya. Disogok dengan satu kotak makanan, tidak membuatnya luluh, ia tidak
pernah kehabisan makanan. Kunci dapur dia yang pegang. Kalau mau, kapan pun ia bisa makan sepuasnya. Hibah
satu set kitab Tafsir Ibnu Katsir
dari toko kitab ABC yang di Pengkolan itu, tidak membuatnya bertobat. Taufik Husein tidak kehilangan
akal, sebagaimana dia selalu punya ide-ide jail, dia juga selalu punya ide
untuk menyelesaikan setiap masalah karena keisengannya.
“Pur, bagaimana kalau Naga Puspa
mu kita sandingkan dengan samurai?”
Purnomo tersenyum.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar