”Wan, bapak bilang apa? Kamu itu berbakat jadi pedagang. Untuk apa kamu
sekolah di pesantren?”
Ayah Iwan mulai bersuara, dari tadi ia sibuk mengangkat kulit yang sudah
disamak. Ia kini duduk istirahat di atas bangku di pojok ruangan, bersender ke
dinding, tangannya mengipas-ngipas tubuhnya yang berkeringat.
”Kalian sedang mujur!”
Iwan malah cengengesan. Agaknya suara kencang ayahnya dianggap angin lalu,
masuk kiri keluar kanan, atau sebaliknya.
”Mujur?”
”Kalian ingin tau alasanku tinggal di asrama? Dengarkan saja ceramah bapa!”
Betul dugaanku sebelumnya, alasan bolak-balik menghabiskan waktu itu bukan
alasan utamanya. Alasan utama Iwan tinggal di asrama segera terkuak.
”Kamu mau jadi ustadz? Nggak pantes!!! Nenek moyangmu tidak ada yang pernah
jadi ustadz. Kakekmu, uyutmu,
semuanya pengrajin kulit. Sampai kapanpun kamu tetap pengrajin kulit, tidak
akan pernah jadi ustadz!!!”
Iwan santai saja memilih produk-produk kulit untuk dijualnya.
”Hadena kamu kaluar ti pesantren,
Wan!! Konsentrasi bisnis saja. Kitab-kitab arab gundulmu itu tidak akan bikin
kamu kenyang. Pesantren tidak akan membantumu menjadi kaya. Angkat martabat
keluarga!! Zaman ayeuna, yang
dibutuhkan cuma duit, Wan. Ingat, duiit!!”
Iwan masih santai.
”Wan! Dengerin bapak nggak?!!”
”Ya pak.”
”Aku ini bapakmu, bukan bapak angkatmu. Kamu bukan anak pungut, Wan!! Ingat
itu baik-baik!!”
Lelaki berkulit gelap itu teriak pada Iwan, tapi sudut matanya mengarah
pada Purnomo.
Set!!! Kedua mata bertemu.
Purnomo agaknya tersindir. Purnomo mau angkat bicara, tapi keburu kucegah.
Ini masalah keluarga Iwan, Purnomo tidak boleh ikut campur. Harus dimaklumi,
orang marah tidak bisa mengontrol bicaranya. Lelaki yang sedang marah-marah itu
bukan preman pasar. Aku khawatir Purnomo memperlakukan ayah temanku itu seperti
preman pasar, hingga babak belur. Lagi pula, salah sendiri, ia lebih dulu
membuka zona perang dengan pertanyaan tentang status Iwan tadi.
Wanita berkulit sawo matang yang dipanggil Emak oleh Iwan itu menghampiri kami, di tangannya nampan berisi
gelas air minum, lengkap dengan sepiring pisang goreng. Agaknya, saking
sibuknya, wanita santun itu baru sempat menjamu kami.
”Punten jang, tong dimasukin hate nya. Biasaa, si bapa
lagi uring-uringan. Maklum atuh nya jang, tagihannya nuju macet. Nanti juga bapak reda sendiri.”
Ceramah terus berlanjut hingga membahas tentang asal usul kabupaten Garut,
pejabat koruptor yang tidak tahu adat, pelatih sepak bola yang tidak becus,
proses penyamakan kulit yang membosankan, hingga masa kecil Iwan yang imut dan
lucu, karena waktu kecil Iwan tidak berjerawat. Kami hampir tidak mempunyai
kesempatan untuk bicara. Telinga kami benar-benar menderita.
Akhirnya, barang dagangan yang akan dibawa Iwan sudah siap. Penderitaan
telinga kami pun berakhir. Ceramah pun usai, tanpa ditutup kalimat tahmid dan salam. Penceramah handal itu ngeloyor ke ruang tengah. Aku dan
Purnomo menarik nafas, lega.
”Bisa kalian bayangkan, Bapa
pidato sepelrti itu setiap aku pulang.”
Bisa kubayangkan, betapa menderitanya Iwan jika setiap hari diceramahi
seperti itu. Terutama keputusannya untuk sekolah di pesantren. Jika kondisinya
seperti itu, akupun akan memilih tinggal di asrama seperti Iwan, meskipun
rumahku dekat.
Tidak lama lelaki kekar itu kembali lagi. Kami kembali menarik nafas.
Telinga kami harus siap menderita lagi. Aku ingin cepat-cepat pergi dari rumah
Iwan.
”Ini oleh-oleh buat kalian.”
Ayah Iwan berubah santun. Agaknya ada ruh lain yang mengambil alih
jasadnya, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Ayah Iwan yang tadi. Ia
menyodorkan dua buah dompet kulit berwarna coklat.
Aku riang bukan main. Karena ini adalah kenikmatan yang tidak
disangka-sangka. Pertama, mendapat oleh-oleh dompet kulit asli, bukan imitasi,
langsung dari pengrajinnya pula. Kedua, telingaku tidak jadi menderita. Agaknya
ayah Iwan sudah lelah berceramah. Jika tadi Purnomo terpancing emosi, mungkin
ceritanya akan lain.
”Wan, kamu belajar nu bener nya! Jangan kayak bapa mu ini! Seumur hidup jadi pengrajin kulit. Begitu juga kalian
...”
Petuah bijak meluncur dari sang penceramah.
Aku dan Purnomo berpandangan.
Berbicara tentang suatu kepantasan. Jika dipikir-pikir, benar juga ucapan
lelaki berambut ikal yang dipanggil Bapa
oleh Iwan itu. Agaknya Iwan memang tidak pantas sedikitpun menjadi seorang
ustadz. Pasalnya, baru naik podium saja, badannya sudah gemetar, mukanya pucat
lalu memerah, suaranya berubah gagap. Malah, yang lebih pantas menjadi ustadz,
adalah ayahnya. Tidak bisa dipungkiri, ia sanggup berpidato berjam-jam. Satu
hal lagi, aku baru tahu, up to date
sekali, bersifat sangat rahasia, ternyata Iwan tidak berniat sedikitpun menjadi
ustadz. Lalu, kenapa dia ngotot tetap sekolah di pesantren? Suatu saat akan
kutanyakan.
Kami pun kembali ke pesantren. O ya, satu lagi kriteria calon pengusaha
sukses yang telah dimiliki Iwan, tapi Aku dan Purnomo sangat benci pada
kriteria yang satu ini, maka kusebut saja ketiga,
Pandai membaca peluang dan memanfaatkan kesempatan. Pulang kampung kali ini,
Iwan membaca peluang dengan membawa
barang dagangan dua kali lipat dari biasanya. Iwan membawa dua kantong besar,
sedangkan aku dan Purnomo dimanfaatkan
untuk membawa masing-masing satu kantong besar.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar