Ketika Rasulullah menyampaikan kepada para shahabat bahwa agama Islam telah
sempurna, para shahabat bersuka ria. Tapi, Abu Bakar tidak. Ia sadar, jika
Islam telah sempurna, berarti tugas Rasulullah sudah selesai, dan Rasulullah
akan segera meninggalkan para shahabat.
Begitu pun aku, hari ini, di saat seluruh teman bersuka ria atas kelulusan
ini. Aku terpuruk dalam kesedihan yang sangat dalam. Aku masih duduk di pojok belakang ketika seluruh temanku merayakan
kelulusan ini. Bersama Irvan.
Satu tahun adalah waktu yang sangat singkat bagiku,
Semua temanku tersenyum di hari perpisahan yang indah ini, kalian telah
lulus. Besok, aku sudah tidak ada di Garut lagi, pulang ke kampung halaman.
Tasikmalaya. Kalian tentu tidak tahu jauh di lubuk hati ini, aku merasa sedih.
Satu tahun di pesantren Al-Ittihad Garut terasa sangat singkat. Rasanya
baru kemarin aku diantar ibu dan ayah ke Garut. Aku belum puas belajar di sini,
aku masih ingin menimba ilmu lebih banyak lagi dari teman-temanku di Negeri
Atap Awan. Rasanya, selalu saja ada ilmu yang baru saja kuketahui.
Banyak sekali hikmah yang telah kudapatkan di Pesantren Al-Ittihad Garut ini.
Hikmah tentang kehidupan, persabatan, pengorbanan, persaudaraan, keteguhan,
semangat dan cita-cita. Sayangnya, aku hanya merasakan semua itu dalam waktu
beberapa bulan saja. Tidak cukup bagiku untuk menikmati semuanya.
Mataku berkaca, jika waktu bisa diputar kembali. Aku akan pindah ke
pesantren ini begitu aku masuk ke kelas satu Mu’allimien. Air mataku menetes.
Kulirik Irvan di sebelahku, ia pun menitikkan air mata, entah apa yang
membuatnya sedih. Mungkinkah karena perpisahan ini atau karena Lulu, gadis
pujaannya itu akan dilamar orang lain bulan ini.
Begitu juga untuk perpisahan ini. Aku bingung harus memilih rasa yang mana,
sedih atau gembira. Sedih karena aku harus meninggalkan Pesantren ini dengan
seribu macam hikmah yang belum kupetik, atau gembira karena aku telah
menyelesaikan pendidikanku.
Kulihat Irvan, ia sudah tertidur pulas dengan posisi duduk. Jejak air
matanya masih jelas terlihat di pipinya. Agaknya ia belum sempat menghapus air
matanya, mungkin karena serangan kantuk begitu kuat baru terasa sekarang. Aku
dan Irvan belum sempat tidur semalam karena harus menyelesaikan dekorasi
perpisahan ini.
Kupejamkan mataku, beberapa butir air panas mendesak keluar melalui
mataku. Akhirnya tumpah dan
akupun sudah tidak sanggup lagi menahan rasa kantuk. Aku tertidur pulas.
Terus terang aku sangat bangga menjadi alumni pesantren ini, aku bangga
menjadi santri dari ustadz dengan berbagai macam karakter yang unik, dengan
berbagai macam cara mengajar yang mengesankan. Aku bangga menjadi teman-teman
dari angkatanku. Terutama teman-teman di Negeri Atap Awan. Mereka duduk di
depan sana, gembira sekali agaknya menyambut hari kelulusan ini, hingga Iwan
terlihat tergelak. Seperti biasa matanya merem.
Purnomo, aku sangat berterima kasih engkau mengajarkanku memahami dunia, mengajarkan
aku teknik naik gerbang pesantren, teknik masak, teknik menyetrika, beladiri
dan masih banyak lagi. Tapi aku masih penasaran kenapa kamu takut pada kecoa.
Rais, aku bangga menjadi temanmu, terima kasih kau telah membohongiku
tentang pesantren ini hingga akhirnya aku terdampar di sini. Terima kasih atas
ajaranmu tentang makna persahabatan, dan cara sukses menjaili orang.
Nurrahman Zaki, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan aku tentang
hakikat ilmu. Tapi terus terang, kalau urusan tidur, aku tidak mau ikut-ikutan.
Iwan Setiawan, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan keteguhan,
pengorbanan dan semangat.
Kulirik Irvan di sebelahku, ia langsung tersenyum padaku. Kuucapkan dalam
hatiku, Irvan Permana, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan aku tentang
hakikat Cinta.
Taufik Husein. Dari tadi aku tidak terlihat lelaki biang iseng ini, mataku terus
sibuk mencari sosoknya di antara teman-temanku yang sedang bersalaman dan
berpelukan.
"Van ayo kita ke sana!!"
Aku dan Irvan langsung bergabung dalam acara salaman dan pelukan terakhir
itu. Semoga bukan terakhir, semoga kita bisa bertemu lagi. Perpisahan ini
bukanlah akhir dari segalanya. Masih banyak yang harus kita lakukan untuk
ummat. Aku berharap kita masih bertemu di luar sana. Ketika berhadapan dengan
Rais, kutanyakan keberadaan Taufik Husein.
"Taufik kecelakaan motor?!!"
Aku tersentak kaget, begitu juga Irvan. Pantas semalam ketika memasang
karya kami yang terakhir, ia tidak ada di gedung. Kecelakaan motor yang
ditumpangi Taufik terjadi ketika ia hendak pulang ke asrama setelah
mengantarkan karya kami yang terakhir. Kemunculannya yang tiba-tiba di pintu
kamar semalam adalah yang terakhir.
Badanku seketika lemas, air mataku menitik.
”Taufik Husein, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan kepadaku arti
persahabatan dan kesetiaan.”
Seperti inikah rasa sedih yang saling bertumpuk, seperti inikah Rasulullah
kehilangan orang-orang yang disayanginya secara bersamaan, pada bulan dan tahun
yang sama. Bagiku, bulan ini adalah syahrul
huzni, bulan berkabung.
Hari kelulusan ini, adalah hari berkabung bagiku. Di hari ini pula, tadi aku mendapat kabar dari ayah tentang Paman. Paman yang kurindukan
kedatangannya. Paman yang kurindukan wejangannya. Paman terkonyol yang selalu
membuatku tergelak. Paman terpintar yang selalu membuatku semangat mencari
ilmu. Paman yang rela menukar beasiswanya dengan berjuang di Afganistan.
Dalam satu pertempuran melawan penjajah Uni Soviet, Paman telah gugur.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar