Selasa, 12 Juli 2016

Syahrul Huzni

Ketika Rasulullah menyampaikan kepada para shahabat bahwa agama Islam telah sempurna, para shahabat bersuka ria. Tapi, Abu Bakar tidak. Ia sadar, jika Islam telah sempurna, berarti tugas Rasulullah sudah selesai, dan Rasulullah akan segera meninggalkan para shahabat.
Begitu pun aku, hari ini, di saat seluruh teman bersuka ria atas kelulusan ini. Aku terpuruk dalam kesedihan yang sangat dalam. Aku masih duduk di pojok belakang ketika seluruh temanku merayakan kelulusan ini. Bersama Irvan.
Satu tahun adalah waktu yang sangat singkat bagiku,
Semua temanku tersenyum di hari perpisahan yang indah ini, kalian telah lulus. Besok, aku sudah tidak ada di Garut lagi, pulang ke kampung halaman. Tasikmalaya. Kalian tentu tidak tahu jauh di lubuk hati ini, aku merasa sedih.
Satu tahun di pesantren Al-Ittihad Garut terasa sangat singkat. Rasanya baru kemarin aku diantar ibu dan ayah ke Garut. Aku belum puas belajar di sini, aku masih ingin menimba ilmu lebih banyak lagi dari teman-temanku di Negeri Atap Awan. Rasanya, selalu saja ada ilmu yang baru saja kuketahui.
Banyak sekali hikmah yang telah kudapatkan di Pesantren Al-Ittihad Garut ini. Hikmah tentang kehidupan, persabatan, pengorbanan, persaudaraan, keteguhan, semangat dan cita-cita. Sayangnya, aku hanya merasakan semua itu dalam waktu beberapa bulan saja. Tidak cukup bagiku untuk menikmati semuanya.
Mataku berkaca, jika waktu bisa diputar kembali. Aku akan pindah ke pesantren ini begitu aku masuk ke kelas satu Mu’allimien. Air mataku menetes. Kulirik Irvan di sebelahku, ia pun menitikkan air mata, entah apa yang membuatnya sedih. Mungkinkah karena perpisahan ini atau karena Lulu, gadis pujaannya itu akan dilamar orang lain bulan ini.
Begitu juga untuk perpisahan ini. Aku bingung harus memilih rasa yang mana, sedih atau gembira. Sedih karena aku harus meninggalkan Pesantren ini dengan seribu macam hikmah yang belum kupetik, atau gembira karena aku telah menyelesaikan pendidikanku.
Kulihat Irvan, ia sudah tertidur pulas dengan posisi duduk. Jejak air matanya masih jelas terlihat di pipinya. Agaknya ia belum sempat menghapus air matanya, mungkin karena serangan kantuk begitu kuat baru terasa sekarang. Aku dan Irvan belum sempat tidur semalam karena harus menyelesaikan dekorasi perpisahan ini.
Kupejamkan mataku, beberapa butir air panas mendesak keluar melalui mataku. Akhirnya tumpah dan akupun sudah tidak sanggup lagi menahan rasa kantuk. Aku tertidur pulas.
Terus terang aku sangat bangga menjadi alumni pesantren ini, aku bangga menjadi santri dari ustadz dengan berbagai macam karakter yang unik, dengan berbagai macam cara mengajar yang mengesankan. Aku bangga menjadi teman-teman dari angkatanku. Terutama teman-teman di Negeri Atap Awan. Mereka duduk di depan sana, gembira sekali agaknya menyambut hari kelulusan ini, hingga Iwan terlihat tergelak. Seperti biasa matanya merem.
Purnomo, aku sangat berterima kasih engkau mengajarkanku memahami dunia, mengajarkan aku teknik naik gerbang pesantren, teknik masak, teknik menyetrika, beladiri dan masih banyak lagi. Tapi aku masih penasaran kenapa kamu takut pada kecoa.
Rais, aku bangga menjadi temanmu, terima kasih kau telah membohongiku tentang pesantren ini hingga akhirnya aku terdampar di sini. Terima kasih atas ajaranmu tentang makna persahabatan, dan cara sukses menjaili orang.
Nurrahman Zaki, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan aku tentang hakikat ilmu. Tapi terus terang, kalau urusan tidur, aku tidak mau ikut-ikutan.
Iwan Setiawan, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan keteguhan, pengorbanan dan semangat.
Kulirik Irvan di sebelahku, ia langsung tersenyum padaku. Kuucapkan dalam hatiku, Irvan Permana, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan aku tentang hakikat Cinta.
Taufik Husein. Dari tadi aku tidak terlihat lelaki biang iseng ini, mataku terus sibuk mencari sosoknya di antara teman-temanku yang sedang bersalaman dan berpelukan.
"Van ayo kita ke sana!!"
Aku dan Irvan langsung bergabung dalam acara salaman dan pelukan terakhir itu. Semoga bukan terakhir, semoga kita bisa bertemu lagi. Perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya. Masih banyak yang harus kita lakukan untuk ummat. Aku berharap kita masih bertemu di luar sana. Ketika berhadapan dengan Rais, kutanyakan keberadaan Taufik Husein.
"Taufik kecelakaan motor?!!"
Aku tersentak kaget, begitu juga Irvan. Pantas semalam ketika memasang karya kami yang terakhir, ia tidak ada di gedung. Kecelakaan motor yang ditumpangi Taufik terjadi ketika ia hendak pulang ke asrama setelah mengantarkan karya kami yang terakhir. Kemunculannya yang tiba-tiba di pintu kamar semalam adalah yang terakhir.
Badanku seketika lemas, air mataku menitik.
”Taufik Husein, aku bangga menjadi temanmu, kamu mengajarkan kepadaku arti persahabatan dan kesetiaan.”
Seperti inikah rasa sedih yang saling bertumpuk, seperti inikah Rasulullah kehilangan orang-orang yang disayanginya secara bersamaan, pada bulan dan tahun yang sama. Bagiku, bulan ini adalah syahrul huzni, bulan berkabung.
Hari kelulusan ini, adalah hari berkabung bagiku. Di hari ini pula, tadi aku mendapat kabar dari ayah tentang Paman. Paman yang kurindukan kedatangannya. Paman yang kurindukan wejangannya. Paman terkonyol yang selalu membuatku tergelak. Paman terpintar yang selalu membuatku semangat mencari ilmu. Paman yang rela menukar beasiswanya dengan berjuang di Afganistan.
Dalam satu pertempuran melawan penjajah Uni Soviet, Paman telah gugur.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar