Iwan Kurniawan, contoh produk asli urang
Sunda. Telisik saja namanya, ada pengulangan vocal ’wan’ di nama keduanya.
Awalnya, kukira santri berambut landak itu keturunan China, karena matanya yang
sipit dan kulitnya yang putih. Tapi, begitu kami berkunjung ke rumahnya,
prasangka itu pupus.
Orang tua Iwan tinggal di kampung Sukaregang, salah satu sentra pengrajin
kulit di kabupaten Garut. Jarak dari pesantren tidak sampai sepuluh kilometer.
Hari ini, aku dan Purnomo diajak berkunjung ke rumahnya di Sukaregang.
Kesempatan ini tentu tidak kusia-siakan, jarang sekali Iwan mengajak teman ke
rumahnya. Sudah cukup lama aku ingin mengenal keluarga Iwan, santri ulet yang
tidak pernah patah semangat, santri yang selalu tersenyum sambil merem.
”Waktuku habis di jalan jika bolak-balik setiap hari.”
Ketika kutanyakan alasan tinggal di asrama, padahal rumahnya tidak begitu
jauh dari pesantren. Jawaban cerdas dari seorang calon pengusaha jaket kulit
yang sukses. Iwan memiliki kriteria calon pengusaha sukses, pertama, Memiliki modal semangat dan
pantang menyerah, kedua, Pintar
mengatur waktu.
”Lagi pula...”
Iwan tidak melanjutkan ucapannya.
”Lagi pula, apa Wan?”
Aku penasaran, jawaban Iwan berikutnya pasti alasan yang utama ia tinggal
di asrama, sedangkan alasan pertama tadi, hanyalah alasan kedua.
”Enggak, nanti kalian akan tau, kalau kalian mujulr.”
Iwan tidaklah pandai berkisah, tidak seperti Purnomo yang selalu bercerita
hampir tiap malam menjelang tidur. Ia ingin menceritakan semua yang dialaminya
dengan caranya sendiri. Kami dituntun untuk menyaksikan dan merasakan apa yang
ia rasakan.
Turun dari angkot, kami lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ketika
melewati sebuah rumah sederhana, Iwan berhenti, lalu mengucapkan salam. Di
pekarangan rumah itu, terlihat seorang lelaki berkulit gelap sedang menjemur
kulit yang selesai disamak, dibantu seorang wanita berkulit sawo matang. Dua
orang pemuda sedang sibuk menjahit produk berbahan dasar dari kulit.
Kukira Iwan sedang mampir ke rumah temannya atau bos jaket kulit. Maka kami
diam menunggu di pinggir jalan, sementara Iwan sudah masuk pekarangan. Melihat
kami masih di jalan, Iwan kembali lagi.
”Ayo Sep, Pulr!”
”Sudah sampe?”
”Ya, ini rumahku.”
”Kamu yakin, Wan?”
Iwan mengangguk, sambil nyengir, kedua matanya merem.
Aku dan Purnomo berpandangan. Iwan pasti salah rumah. Kedua kelopak matanya
harus dibuka lebar-lebar agar tidak salah lihat. Tapi, jika dipikir-pikir,
kenapa kami yang harus menentukan rumah Iwan. Desa ini, kampung dia, rumah
sederhana itu, diakui rumah dia, ya suka-suka dia saja. Kami masih tetap pada
pendirian bahwa Iwan salah rumah.
”Itu bapa ku, dan itu emak ku.”
Iwan menunjuk lelaki berkulit gelap – tapi tidak segelap kulit Irvan – dan wanita
berkulit sawo matang yang sedang menjemur kulit di pekarangan.
Aku dan Purnomo berpandangan. Masih belum percaya.
”Wan, Ente anak pungut ya?”
Pertanyaan sama yang ingin kusampaikan pada Iwan, tapi keduluan Purnomo.
Iwan diam saja, ia malah nyengir, seperti biasa kedua matanya kembali merem. Di
sudut sana, tanpa sepengetahuan Purnomo, lelaki berkulit gelap itu melihat kami
dengan sudut mata, ada marah di sorot mata itu.
Purnomo tidak puas, ia mengejar Iwan dengan pertanyaan seputar perbedaan
warna kulit, bentuk mata dan rambut. Sementara itu, lelaki berambut ikal itu –
jauh sekali sama Iwan yang berambut landak – terlihat semakin marah, buktinya
kulit yang sedang dibawanya itu, dilempar ke tempat penjemuran hingga
menimbulkan suara keras.
”Di akte lahir sih seperti itu.”
Purnomo siap melontarkan pertanyaan berikutnya, Aku segera menyenggol
Purnomo supaya menghentikan introgasinya. Setidaknya jangan bertanya terlalu
kencang. Tampaknya Purnomo paham maksudku.
”Ente penasaran juga?”
Duh, ternyata aku terlalu berbaik sangka. Purnomo belum paham maksudku.
Tapi, biarlah, aku mengikuti prasangkanya. Akhirnya kudekati Iwan, lalu
berbisik,
”Kamu yakin Wan, ini rumahmu? Itu ayah ibumu?”
Sungguh, aku hanya ingin memastikan saja.
”Ya, memang kenapa? Dan dua orang lelaki itu adalah kakakku.”
Iwan menunjuk dua orang pemuda berkulit sawo matang yang berada di dalam
rumah.
Maka,
”Subhanallaah!!”
Sungguh, di rumah Iwan ini, telah kutemukan keajaiban penciptaan. Dari seorang
ayah berkulit gelap dan seorang ibu berkulit sawo matang, telah lahir satu
sosok manusia seperti Iwan. Allah Maha Kuasa.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar