Minggu, 10 Juli 2016

Teori Nama Sunda



Berbicara tentang nama, sebenarnya mudah sekali menebak seseorang itu berasal dari tataran Sunda atau bukan. Cukup perhatikan saja namanya, maka jawabannya akan ditemukan.
Mari kuperkenal teori nama Sunda yang akan membuat terkagum-kagum akan kecerdikan orang Sunda, atau mungkin akan tertawa terpingkal-pingkal karena toeri ini dianggap mengada-ada. Sejujurnya, paman lah yang menemukan teori nama Sunda ini, ketika aku masih Sekolah Dasar dulu pada tahun delapan puluhan.
”Pertama!”
”Asep, Isep, Osep, Usep, Ujang, Eneng, Euis, Iis, Lilis, Endang, Engkus, Eman, ......, Ingat Sep! Nama-nama itu sudah jadi hak paten orang Sunda.”
Aku manggut-manggut setuju, karena namaku disebut.
”Kedua!”
”Adanya pengulangan vocal. Misal, Mimin, Mumun, Maman, Momon, Beben, Bubun, Baban, dan lain-lain. Jika ada yang memiliki nama diulang seperti itu, sudah dipastikan dia itu orang Sunda.”
Aku mulai kagum pada paman yang pintar ini.
”Ketiga!”
”Adanya pengulangan vocal pada nama kedua. Misal, Maman Sulaeman, Didin Syamsuddin, Lala Tumila, atau Uun Fir’aun. Pengulangan vocal pada nama akhir ini, bisa ditempatkan di awal, tengah, atau bisa juga di akhir nama.”
Aku menerawang nama-nama itu, mencoba mencari letak pengulangan vocal pada nama pertama dan kedua.
”Perhatikan Sep!. Vocal Man pada Maman, diulang pada akhir kata Sulaeman.”
Menakjubkan! Aku semakin bersemangat mendengarkan ilmu baru ini.
”Waktu alo lahir, nama pemberian kakek Ahmad adalah Asep, lalu ayah dan ibumu mencari padanan vocal yang sesuai dengan nama depanmu. Karena orang tuamu ingin menggabungkan ciri khas Sunda dengan nama Islam, seperti mamang,
Harap tau saja, nama pamanku, Akim Hakimuddin.
”Maka, alo diberi nama Asep Saepulhaq.”
Sejarah pemberian nama yang sangat simple dan menakjubkan. Tapi, aku tidak bisa menemukan padanan vocal yang pas. Aku protes.
”Vocal Sep dan Saep itu sama!”
”Beda mang. Hanya mirip!”
”Beda ya? Kalau begitu, mamang jadikan teori baru”
Agaknya paman mengakui perbedaan vocal Sep dan Saep itu. Maka, protesku itu menghasilkan teori nama Sunda yang baru.
”Keempat!”
”Adanya pengulangan vocal ’yang hampir sama’ pada nama kedua. Pengulangan vocal yang mirip ini bisa terjadi di awal atau bisa juga di akhir nama.”
Aku puas.
”Kelima!”
”Kelima?!”
”Ya, teori kelima ini adalah teori nama terhebat sepanjang sejarah manusia. Alo tidak akan mendapatkan nama sesingkat dan seunik nama yang telah dibuat oleh orang-orang Sunda.”
”Singkat?”
Aku belum mengerti.
”Coba alo perhatikan nama-nama berikut.”
Kupasang telinga. Tapi agaknya paman pura-pura berpikir.
”Aa, Ee, Ii, Oo dan Uu.”
”Aa, Ee, Ii, Oo dan Uu? Itu nama orang mang?”
”Ya nama orang lah, masa nama kambing.”
Aku tertegun. Lalu aku teringat anak tukang photo keliling yang biasa ku panggil si Aa, terus seorang nenek renta dekat rumah nenek, biasa kupanggil haji Ee, lalu teman bibiku yang biasa kupanggil bi Ii, kemudian seorang lelaki yang rumahnya dekat masjid, ia biasa kupanggil kang Oo, dan seorang penjual es susu yang biasa kupanggil mang Uu.
Menakjubkan! Benar kata paman, nama sesingkat itu tidak akan pernah ditemukan di suku atau negara manapun di dunia. Nama yang sangat singkat, hanya terdiri dari satu huruf vokal, pengulangan huruf kedua itu semata agar tidak kehilangan jati diri nama Sunda yang selalu ada pengulangan.
”Keenam!”
”Ada lagi mang?!”
”Masih ada! Ini yang paling spektakuler, karena teori kelima ini menggunakan rumus!”
Paman memang hebat. Jika besar nanti, aku ingin pintar seperti paman.
”Untung orang tuamu pintar, mereka cepat mencari padanan kata yang tepat. Jika sudah terdesak, mungkin orang tuamu akan menggunakan rumus ini.”
”Rumusnya seperti apa, Mang?”
Aku tidak sabar, agaknya paman mengulur-ulur waktu. Ia sangat menikmati saat-saat aku menatapnya penasaran. Mungkin, seperti itulah rasanya jadi orang pintar mempermainkan orang bodoh. Saat itu aku berjanji, aku akan menurunkan ilmu ini pada adikku yang masih bodoh. Aku ingin merasakan sensasi itu.
”Rumusnya hanya menambahkan kata ’su’ dan ’ma’, itu inti rumusnya, maka dari ’su’, munculah ’sur’, ’sup’, ’sut’ dan lainnya. Dari ’ma’ juga, muncul rumus lainnya, diantaranya ’mar’.”
Aku belum paham.
”Namamu akan menjadi Asep Surasep atau Asep Marusep. Paham?!”
Menakjubkan, sekaligus miris mendengar rumus itu. Apakah menunjukkan tingkat kreatifitas orang Sunda dalam memberi nama, atau malah sebaliknya, justeru karena kurang kreatif, akhirnya memberi nama dengan cara instant. Menggunakan rumus. Karena asalku dari tataran Sunda, maka kuakui saja itu sebagai bentuk kreatifitas, dan bentuk jati diri orang Sunda yang berpikir simple. Apalah arti sebuah nama, begitulah William Shakespeare berucap padaku beberapa hari yang lalu. Jika aku dibilang subjektif, terserahlah!.
”Hebatnya Sep!”
Paman bersemangat, agaknya ia bangga menjadi orang Sunda meskipun ia berwajah kearab-araban.
”Setiap daerah di tataran Sunda memiliki teori sendiri. Tapi, dari semua teori yang ada, mereka memiliki satu kesamaan”
”Kesamaan apa, mang?”
”Pengulangan vocal, itu inti teori nama Sunda.”
Hanya saja, kata paman, jika didapati orang Sunda memiliki nama tidak sesuai dengan teorinya, maka ada dua kemungkinan, pertama, perlu dipertanyakan rasa kesundaannya, kedua, orang itu sudah terkena arus modernisasi.
Aku tidak pernah menyangka, tataran Sunda kaya akan budaya yang mesti dilestarikan. Teori pemberian nama diantaranya. Dan, penemu teori itu adalah pamanku sendiri.
Menurut paman pula, teori nama yang ia temukan itu adalah suatu kepastian, seperti pastinya satu tambah satu sama dengan dua. Artinya, siapapun yang memiliki nama dengan teori-teori tadi, bisa dipastikan orang itu dari tataran Sunda, atau tetangganya orang Sunda, setidaknya pernah kenal dengan orang Sunda. Kalau tidak, orang itu pasti sedang nyamar menjadi orang Sunda. Kesimpulan yang menakjubkan.
Teori paman selanjutnya tentang nama Sunda blasteran. Mari kusebutkan nama-nama Sunda blasteran berdasarkan catatan paman : Kiki Suzuki, Sunda-Jepang; Ian Christian, Sunda-Amerika; Nia Jarvinia, Sunda-Jerman; Akim Hakimudin, Sunda-Arab – paman nyengir –; Ine Francine, Sunda-Francis; Lili Lee, Sunda-China; Uun Fir’aun, Sunda-Mesir; dan masih sederet nama sunda blasteran lainnya. Paman agaknya mencari-cari nama itu, lalu meramunya hingga menjadi satu nama yang utuh. Nama yang indah, istilah Paman. Ia memang kurang kerjaan.
Hingga suatu hari, gara-gara teori nama Sunda blasteran itu, paman menemukan satu kesimpulan yang mengejutkan, membuatnya tidak enak makan, sulit tidur, senewen, uring-uringan, ia tidak terima dengan kenyataan yang ia hadapi, ia seolah berada di ruang hampa, di antara ada dan tiada, percaya dan ingkar akan hasil temuannya. Hal ini karena ada kaitannya dengan orang yang paling dia benci melebihi bencinya pada Fir’aun. Ada kaitannya dengan orang yang membantai muslim di Afganistan, orang yang memimpin Uni Soviet. Itu di satu sisi. Sisi lainnya ia sangat bangga menjadi orang Sunda.
”Jika menilik namanya, Mamang yakin, orang itu keturunan Sunda.”
Waktu itu aku tidak memiliki banyak pembendaharaan informasi tentang luar negeri, lebih lagi tentang perang, maka kutanyakan orang yang dimaksud paman itu.
”Cecep Gorbachev.”
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar