Berbicara tentang nama, sebenarnya mudah sekali menebak seseorang itu
berasal dari tataran Sunda atau bukan. Cukup perhatikan saja namanya, maka
jawabannya akan ditemukan.
Mari kuperkenal teori nama Sunda yang akan membuat terkagum-kagum akan
kecerdikan orang Sunda, atau mungkin akan tertawa terpingkal-pingkal karena
toeri ini dianggap mengada-ada. Sejujurnya, paman lah yang menemukan teori nama
Sunda ini, ketika aku masih Sekolah Dasar dulu pada tahun delapan puluhan.
”Pertama!”
”Asep, Isep, Osep, Usep, Ujang, Eneng, Euis, Iis, Lilis, Endang, Engkus,
Eman, ......, Ingat Sep! Nama-nama itu sudah jadi hak paten orang Sunda.”
Aku manggut-manggut setuju, karena namaku disebut.
”Kedua!”
”Adanya pengulangan vocal. Misal, Mimin, Mumun, Maman, Momon, Beben, Bubun,
Baban, dan lain-lain. Jika ada yang memiliki nama diulang seperti itu, sudah
dipastikan dia itu orang Sunda.”
Aku mulai kagum pada paman yang pintar ini.
”Ketiga!”
”Adanya pengulangan vocal pada nama kedua. Misal, Maman Sulaeman, Didin
Syamsuddin, Lala Tumila, atau Uun Fir’aun. Pengulangan vocal pada nama akhir
ini, bisa ditempatkan di awal, tengah, atau bisa juga di akhir nama.”
Aku menerawang nama-nama itu, mencoba mencari letak pengulangan vocal pada
nama pertama dan kedua.
”Perhatikan Sep!. Vocal Man pada Maman, diulang pada akhir kata Sulaeman.”
Menakjubkan! Aku semakin bersemangat mendengarkan ilmu baru ini.
”Waktu alo lahir, nama pemberian
kakek Ahmad adalah Asep, lalu ayah dan ibumu mencari padanan vocal yang sesuai
dengan nama depanmu. Karena orang tuamu ingin menggabungkan ciri khas Sunda
dengan nama Islam, seperti mamang,”
Harap tau saja, nama pamanku, Akim Hakimuddin.
”Maka, alo diberi nama Asep
Saepulhaq.”
Sejarah pemberian nama yang sangat simple
dan menakjubkan. Tapi, aku tidak bisa menemukan padanan vocal yang pas. Aku
protes.
”Vocal Sep dan Saep itu sama!”
”Beda mang. Hanya mirip!”
”Beda ya? Kalau begitu, mamang
jadikan teori baru”
Agaknya paman mengakui perbedaan vocal Sep dan Saep itu. Maka, protesku itu
menghasilkan teori nama Sunda yang baru.
”Keempat!”
”Adanya pengulangan vocal ’yang hampir sama’ pada nama kedua. Pengulangan
vocal yang mirip ini bisa terjadi di awal atau bisa juga di akhir nama.”
Aku puas.
”Kelima!”
”Kelima?!”
”Ya, teori kelima ini adalah teori nama terhebat sepanjang sejarah manusia.
Alo tidak akan mendapatkan nama
sesingkat dan seunik nama yang telah dibuat oleh orang-orang Sunda.”
”Singkat?”
Aku belum mengerti.
”Coba alo perhatikan nama-nama
berikut.”
Kupasang telinga. Tapi agaknya paman pura-pura berpikir.
”Aa, Ee, Ii, Oo dan Uu.”
”Aa, Ee, Ii, Oo dan Uu? Itu nama orang mang?”
”Ya nama orang lah, masa nama kambing.”
Aku tertegun. Lalu aku teringat anak tukang photo keliling yang biasa ku
panggil si Aa, terus seorang nenek renta dekat rumah nenek, biasa kupanggil
haji Ee, lalu teman bibiku yang biasa kupanggil bi Ii, kemudian seorang lelaki
yang rumahnya dekat masjid, ia biasa kupanggil kang Oo, dan seorang penjual es
susu yang biasa kupanggil mang Uu.
Menakjubkan! Benar kata paman, nama sesingkat itu tidak akan pernah
ditemukan di suku atau negara manapun di dunia. Nama yang sangat singkat, hanya
terdiri dari satu huruf vokal, pengulangan huruf kedua itu semata agar tidak
kehilangan jati diri nama Sunda yang selalu ada pengulangan.
”Keenam!”
”Ada lagi mang?!”
”Masih ada! Ini yang paling spektakuler,
karena teori kelima ini menggunakan rumus!”
Paman memang hebat. Jika besar nanti, aku ingin pintar seperti paman.
”Untung orang tuamu pintar, mereka cepat mencari padanan kata yang tepat.
Jika sudah terdesak, mungkin orang tuamu akan menggunakan rumus ini.”
”Rumusnya seperti apa, Mang?”
Aku tidak sabar, agaknya paman mengulur-ulur waktu. Ia sangat menikmati
saat-saat aku menatapnya penasaran. Mungkin, seperti itulah rasanya jadi orang
pintar mempermainkan orang bodoh. Saat itu aku berjanji, aku akan menurunkan
ilmu ini pada adikku yang masih bodoh. Aku ingin merasakan sensasi itu.
”Rumusnya hanya menambahkan kata ’su’ dan ’ma’, itu inti rumusnya, maka
dari ’su’, munculah ’sur’, ’sup’, ’sut’ dan lainnya. Dari ’ma’ juga, muncul
rumus lainnya, diantaranya ’mar’.”
Aku belum paham.
”Namamu akan menjadi Asep Surasep atau Asep Marusep. Paham?!”
Menakjubkan, sekaligus miris mendengar rumus itu. Apakah menunjukkan
tingkat kreatifitas orang Sunda dalam memberi nama, atau malah sebaliknya,
justeru karena kurang kreatif, akhirnya memberi nama dengan cara instant.
Menggunakan rumus. Karena asalku dari tataran Sunda, maka kuakui saja itu
sebagai bentuk kreatifitas, dan bentuk jati diri orang Sunda yang berpikir
simple. Apalah arti sebuah nama, begitulah William
Shakespeare berucap padaku beberapa hari yang lalu. Jika aku dibilang
subjektif, terserahlah!.
”Hebatnya Sep!”
Paman bersemangat, agaknya ia bangga menjadi orang Sunda meskipun ia
berwajah kearab-araban.
”Setiap daerah di tataran Sunda memiliki teori sendiri. Tapi, dari semua
teori yang ada, mereka memiliki satu kesamaan”
”Kesamaan apa, mang?”
”Pengulangan vocal, itu inti teori nama Sunda.”
Hanya saja, kata paman, jika didapati orang Sunda memiliki nama tidak
sesuai dengan teorinya, maka ada dua kemungkinan, pertama, perlu dipertanyakan
rasa kesundaannya, kedua, orang itu sudah terkena arus modernisasi.
Aku tidak pernah menyangka, tataran Sunda kaya akan budaya yang mesti
dilestarikan. Teori pemberian nama diantaranya. Dan, penemu teori itu adalah
pamanku sendiri.
Menurut paman pula, teori nama yang ia temukan itu adalah suatu kepastian,
seperti pastinya satu tambah satu sama dengan dua. Artinya, siapapun yang
memiliki nama dengan teori-teori tadi, bisa dipastikan orang itu dari tataran
Sunda, atau tetangganya orang Sunda, setidaknya pernah kenal dengan orang
Sunda. Kalau tidak, orang itu pasti sedang nyamar menjadi orang Sunda.
Kesimpulan yang menakjubkan.
Teori paman selanjutnya tentang nama Sunda blasteran. Mari kusebutkan
nama-nama Sunda blasteran berdasarkan catatan paman : Kiki Suzuki,
Sunda-Jepang; Ian Christian, Sunda-Amerika; Nia Jarvinia, Sunda-Jerman; Akim
Hakimudin, Sunda-Arab – paman nyengir –; Ine Francine, Sunda-Francis; Lili Lee,
Sunda-China; Uun Fir’aun, Sunda-Mesir; dan masih sederet nama sunda blasteran
lainnya. Paman agaknya mencari-cari nama itu, lalu meramunya hingga menjadi
satu nama yang utuh. Nama yang indah, istilah Paman. Ia memang kurang kerjaan.
Hingga suatu hari, gara-gara teori nama Sunda blasteran itu, paman
menemukan satu kesimpulan yang mengejutkan, membuatnya tidak enak makan, sulit
tidur, senewen, uring-uringan, ia tidak terima dengan kenyataan yang ia hadapi,
ia seolah berada di ruang hampa, di antara ada dan tiada, percaya dan ingkar
akan hasil temuannya. Hal ini karena ada kaitannya dengan orang yang paling dia
benci melebihi bencinya pada Fir’aun. Ada kaitannya dengan orang yang membantai
muslim di Afganistan, orang yang memimpin Uni Soviet. Itu di satu sisi. Sisi
lainnya ia sangat bangga menjadi orang Sunda.
”Jika menilik namanya, Mamang
yakin, orang itu keturunan Sunda.”
Waktu itu aku tidak memiliki banyak pembendaharaan informasi tentang luar
negeri, lebih lagi tentang perang, maka kutanyakan orang yang dimaksud paman
itu.
”Cecep Gorbachev.”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar