Senin, 11 Juli 2016

Pesantren Al-Ittihad Garut

Waktu menunjukkan jam satu siang, ketika mobil angkot berhenti tepat di seberang sebuah papan nama. Aku turun dari angkot, diikuti Ibu, sementara ayah masih di dalam angkot menunggu kembalian dari si supir.
Sulitnya mencari nafkah, persaingan usaha semakin tajam, rasa ingin berbagi semakin hilang. Dulu, ketika paman bilang aku masih bodoh –TK–, setiap angkot di kampungku pasti memiliki partner kerja, yang biasa disebut kenek, bahasa kerennya kondektur. Tapi sekarang, tidak ada satupun angkot yang memiliki kenek, seperti yang terjadi di Garut. Entahlah, apa benar keinginan berbagi itu semakin hilang? Atau tujuannya ingin menghemat biaya dan tenaga? Atau mungkin kebijakan tentang transportasi angkot? Aku tidak tahu. Itu urusan Menteri Transportasi.
Pesantren Al-Ittihad No. 19 Guntur Garut
Alamat : Jl. Guntur *** **** Garut
*******************************
Aku terdiam menatap papan nama yang begitu sederhana. Panjangnya sekitar tiga meter dengan lebar kira-kira satu meter. Hanya ditopang dua pipa besi bercat hijau tua yang tingginya sekitar empat meter. Beberapa bagian catnya bahkan sudah terkelupas. Yang aku tahu, papan nama adalah satu simbol identitas yang menggambarkan bangunan yang berada di belakangnya.
Aku mulai merasa ada yang tidak beres untuk ucapan Rais. Jika memang, pesantren Al-Ittihad memiliki bangunan yang megah, mengapa penampilan papan namanya begitu sederhana.
Jangan-jangan aku salah alamat.
”Ayo Sep nyebrang!”
Ayah menyebrang diikuti Ibu. Aku tidak mau ketinggalan sambil membawa tas ransel yang pernah menemaniku ke gunung Galunggung. Ibu, hanya membawa tas kecil yang biasa dibawanya jika ke pasar. Sedangkan ayah membawa tas koper bersejarah miliknya.
Menurut cerita ayah, ia membeli tas koper itu sejak masih bujangan, ketika untuk pertama kalinya ia berkelana jauh dari kedua orang tuanya, kakek dan nenekku. Hal yang sama, kini akan kulakukan, hidup jauh dari kedua orang tua, maka koper berwarna hijau itulah yang akan menemaniku. Meski koper itu berumur lebih tua dari umurku, kotak tempat pakaian itu masih terlihat kokoh, warnanya pun hanya sedikit pudar. Hebatnya lagi, kunci koper yang sangat kecil itu masih ada. Maka, secara tersirat ayah mengamanahkan tas koper itu padaku sambil mengatakan,
Sep, jagalah tas koper itu dengan sepenuh jiwamu!
Kami menyusuri jalan yang hanya bisa dilalui satu mobil itu. Bisa kubayangkan, jika dua mobil berpas-pasan di jalan ini, maka, salah satu mobil harus mundur agar kedua mobil bisa melalui jalan kecil ini.
Langkah pertama, kedua dan seterusnya, yang kulihat di kedua sisi jalan hanyalah rumah penduduk, belum kutemukan satupun bangunan pesantren. Tapi, diujung jalan sana, kulihat pohon besar yang cukup rindang, tidak jauh dari pohon itu seperti bangunan kelas. Ingat, baru seperti ruang kelas, karena tidak semegah yang diceritakan Rais.
Perasaanku mulai tidak enak.
Kami terus berjalan hingga melewati pintu gerbang besi yang tingginya sekitar lima meter. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku terkunci di luar, lalu harus memanjat pintu gerbang setinggi itu. Pasti cukup sulit melewatinya. Ketika nyantri di Tasikmalaya, aku pernah menaiki pintu gerbang pesantren yang tingginya hanya dua meter saja. Itu juga cukup susah. Ini lima meter!
Akhirnya kami sampai ke area kosong seluas lapangan bulu tangkis, ada beberapa bangunan berlantai dua yang mirip kelas di sana. Tiga orang santri bercelana warna krem melintas di teras bangunan itu. Di salah satu dinding atas lantai dua, kulihat kaligrafi arab bergaya Tsuluts berwarna hijau dengan warna latar putih pudar.
”Khairunnaas anfa’uhum linnaas”[1]
Bagi orang-orang yang tidak tahu kaidah penulisan kaligrafi Arab, gaya tsuluts termasuk jenis kaligrafi yang agak sulit dibaca, salah satu faktornya terlalu banyak pernak-pernik yang menghiasi huruf. Aku beruntung sekali pernah belajar kaligrafi arab yang biasa disebut khat.
Inikah Pesantren Al-Ittihad Garut?
Kedua mataku mengembun. Kurang ajar nian makhluk kurus kering bernama Raisul Balad itu, ia telah menjailiku. Aku masih berharap salah alamat, masuk ke pesantren yang salah. Tapi, nama Pesantren Al-Ittihad Garut sudah jelas pada papan nama di depan tadi.
Ayah berdiri di belakangku, membiarkanku menumpahkan seluruh asa dalam mengagumi pesantren baruku. Seandainya ayah tahu isi hatiku yang sebenarnya, niscaya ayah akan menuntun aku kembali ke Tasikmalaya. Tapi, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kasihan ayah, jika harus kembali sia-sia. Keinginan agar putranya menjadi murid ulama idolanya akan pupus.
Berbeda dengan Ibu, tampaknya Ibu tidak sabar berlama-lama. Begitu dua orang santri wanita melintas di depan kami. Ibu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya letak kantor pesantren.
”Itu kantornya.”
Jawab santri berparas anggun itu sambil menunjuk sebuah bangunan.
”Itu?”
Aku tertegun. Bangunan yang ditunjuk santri itu sebuah rumah yang pintu depannya dibiarkan terbuka lebar. Itu bukan kantor, bangunan itu adalah rumah seperti rumah lainnya yang kutemui tadi sepanjang jalan kecil. Dua santri wanita itu berlalu.
”Tunggu!”
Mereka menghentikan langkahnya, lalu menoleh padaku.
”Betul, itu kantornya?”
Santri anggun itu mengangguk sambil tersenyum, sedangkan temannya terlihat kurang bersahabat. Wajahku jadi setengah tersenyum dan setengah lagi tidak.
Sebenarnya, aktifitas di balik jendela berkusen warna hijau muda itu, sudah cukup membuktikan bahwa bangunan itu adalah sebuah kantor. Seorang lelaki paruh baya, berambut lurus dan berkaca mata tebal sedang mengetik di depan komputer. Ditambah pula dengan kedatangan dua santri bercelana warna krem menghampiri jendela itu sambil menyodorkan lembaran kertas, semacam kartu iuran. Pertanyaanku tadi hanya ingin memastikan wajah wanita anggun itu. Karena wajah anggunnya itu  mengingatkanku pada seseorang. Ini bukan bisa-bisanya lelaki. Sungguh!
Kami segera menghampiri kantor, lalu mengucapkan salam di depan pintu yang terbuka lebar itu.
Tidak lama kemudian, seorang lelaki berwajah kotak muncul menghampiri kami, tulang alisnya menonjol, sorot matanya sangat tajam, lehernya besar dengan pundak yang sedikit menonjol, kedua tangannya kekar berotot, terlihat sekali ia rajin berolah raga. Badannya atletis dengan dada bidang membusung. Sepintas mirip bintang film Hollywood pemeran utama The Terminator, tapi dengan tinggi 170 sentimeter saja. Aku langsung mengkerut takut. Kesan pertamaku, aku akan menemukan keangkeran dari lelaki itu. Gerak-gerikku akan selalu dipantau oleh lelaki bermata elang itu.
”Dzul Qarnain. Panggil saya Dzul saja.”
Lelaki itu memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangan. Dari logat bicaranya, agaknya ia orang Batak. Kami menyambut tangannya bergantian, tentu saja kecuali Ibu, karena laki-laki dan wanita bukan muhrim, haram bersentuhan.
Ayah pun terlibat perbincangan dengan orang yang cukup dipanggil Dzul itu. Ayah menyampaikan niat kedatangan kami ke Pesantren. Berdasarkan perbincangan mereka, ternyata Pesantren Al-Ittihad Garut sama seperti pesantren lamaku, membebaskan seluruh santrinya untuk memilih tempat tinggal, bisa tinggal di asrama, bisa juga kost di sekitar pesantren.
Awalnya kupikir seluruh santri tinggal di asrama. Tiga gedung asrama putera tentu bisa menampung seluruh santri. Aku mulai curiga, kebohongan apa lagi yang telah disampaikan Rais padaku. Tiga gedung asrama putera itu pasti tidak semegah yang kubayangkan.
Selanjutnya perbincangan mulai mengarah padaku, tentang asal pesantrenku, prestasiku, lalu alasan pindahku. Tidak lupa lelaki santun itu memintaku untuk menunjukkan raport terakhirku. Beberapa saat ia membuka-buka raportku.
”Baik, putra Bapak diterima di sini.”
Ayah dan Ibu tampak begitu senang. Sedangkan aku belum jelas, serasa berada di antara dua rasa, antara senang dan sedih. Senang karena melihat kedua orang tua gembira. Sedih, karena pesantren ini tidak sesuai dengan yang kubayangkan. Satu simpul kebohongan sudah terkuak, bangunan kelas yang kokoh, itu bohong!. Mungkin sebentar lagi asrama.
Selanjutnya aku diantar menuju ruang asrama yang akan kutempati. Letaknya tidak jauh dari kantor. Tapi, karena asrama yang akan kutempati berada di lantai tiga, ayah dan Ibu dianjurkan untuk menunggu di kantor saja. Lelaki kekar itu menjinjing tas koper bersejarah milik ayah yang berwarna hijau itu. Ringan sekali tampaknya tas itu di tangan ustadz berotot itu.
* * *

Setelah shalat dhuhur dan ashar dilakukan dengan cara jama’ dan qashar di salah satu ruangan kantor, Ayah dan Ibu akhirnya pulang kembali ke Tasikmalaya. Petuah-petuah singkat keluar dari mulut dua orang yang sangat kucintai itu, mulai dari jangan telat makan hingga jangan lupa minum obat, kalau sakit.
Kucium kedua tangan Ayah dan Ibu penuh hidmat. Mata Ibu mulai berkaca, ayah juga. Akupun sama, kilatan air mata sudah mulai tampak di kedua mataku yang mulai memanas. Bahkan kalau boleh, aku ingin menangis. Bukan, kali ini bukan perpisahaan yang membuat mataku mengembun begitu, karena dari awal aku sudah siap, perpisahan ini akan terjadi. Ada hal lain yang membuatku ingin menangis. Nanti aku ceritakan. Kalau sempat.
* * *


[1] “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar