Waktu menunjukkan jam satu
siang, ketika mobil angkot berhenti tepat di seberang sebuah papan nama. Aku
turun dari angkot, diikuti Ibu, sementara ayah masih di dalam angkot menunggu
kembalian dari si supir.
Sulitnya mencari nafkah,
persaingan usaha semakin tajam, rasa ingin berbagi semakin hilang. Dulu, ketika
paman bilang aku masih bodoh –TK–, setiap angkot di kampungku pasti memiliki partner kerja, yang biasa disebut kenek,
bahasa kerennya kondektur. Tapi sekarang, tidak ada satupun angkot yang
memiliki kenek, seperti yang terjadi
di Garut. Entahlah, apa benar keinginan berbagi itu semakin hilang? Atau
tujuannya ingin menghemat biaya dan tenaga? Atau mungkin kebijakan tentang
transportasi angkot? Aku tidak tahu. Itu urusan Menteri Transportasi.
Pesantren Al-Ittihad No. 19 Guntur Garut
Alamat : Jl. Guntur *** **** Garut
*******************************
Aku terdiam menatap papan nama
yang begitu sederhana. Panjangnya sekitar tiga meter dengan lebar kira-kira
satu meter. Hanya ditopang dua pipa besi bercat hijau tua yang tingginya
sekitar empat meter. Beberapa bagian catnya bahkan sudah terkelupas. Yang aku
tahu, papan nama adalah satu simbol identitas yang menggambarkan bangunan yang
berada di belakangnya.
Aku mulai merasa ada yang
tidak beres untuk ucapan Rais. Jika memang, pesantren Al-Ittihad memiliki
bangunan yang megah, mengapa penampilan papan namanya begitu sederhana.
Jangan-jangan aku salah alamat.
”Ayo Sep nyebrang!”
Ayah menyebrang diikuti Ibu.
Aku tidak mau ketinggalan sambil membawa tas ransel yang pernah menemaniku ke
gunung Galunggung. Ibu, hanya membawa tas kecil yang biasa dibawanya jika ke
pasar. Sedangkan ayah membawa tas koper bersejarah miliknya.
Menurut cerita ayah, ia
membeli tas koper itu sejak masih bujangan, ketika untuk pertama kalinya ia
berkelana jauh dari kedua orang tuanya, kakek dan nenekku. Hal yang sama, kini
akan kulakukan, hidup jauh dari kedua orang tua, maka koper berwarna hijau itulah
yang akan menemaniku. Meski koper itu berumur lebih tua dari umurku, kotak
tempat pakaian itu masih terlihat kokoh, warnanya pun hanya sedikit pudar. Hebatnya
lagi, kunci koper yang sangat kecil itu masih ada. Maka, secara tersirat ayah
mengamanahkan tas koper itu padaku sambil mengatakan,
Sep, jagalah tas koper itu dengan sepenuh jiwamu!
Kami menyusuri jalan yang
hanya bisa dilalui satu mobil itu. Bisa kubayangkan, jika dua mobil
berpas-pasan di jalan ini, maka, salah satu mobil harus mundur agar kedua mobil
bisa melalui jalan kecil ini.
Langkah pertama, kedua dan
seterusnya, yang kulihat di kedua sisi jalan hanyalah rumah penduduk, belum
kutemukan satupun bangunan pesantren. Tapi, diujung jalan sana, kulihat pohon
besar yang cukup rindang, tidak jauh dari pohon itu seperti bangunan kelas.
Ingat, baru seperti ruang kelas, karena tidak semegah yang diceritakan Rais.
Perasaanku mulai tidak enak.
Kami terus berjalan hingga
melewati pintu gerbang besi yang tingginya sekitar lima meter. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana jika aku terkunci di luar, lalu harus memanjat pintu
gerbang setinggi itu. Pasti cukup sulit melewatinya. Ketika nyantri di
Tasikmalaya, aku pernah menaiki pintu gerbang pesantren yang tingginya hanya dua
meter saja. Itu juga cukup susah. Ini lima meter!
Akhirnya kami sampai ke area
kosong seluas lapangan bulu tangkis, ada beberapa bangunan berlantai dua yang
mirip kelas di sana. Tiga orang santri bercelana warna krem melintas di teras
bangunan itu. Di salah satu dinding atas lantai dua, kulihat kaligrafi arab
bergaya Tsuluts berwarna hijau dengan
warna latar putih pudar.
”Khairunnaas anfa’uhum linnaas”[1]
Bagi orang-orang yang tidak
tahu kaidah penulisan kaligrafi Arab, gaya tsuluts termasuk jenis kaligrafi
yang agak sulit dibaca, salah satu faktornya terlalu banyak pernak-pernik yang
menghiasi huruf. Aku beruntung sekali pernah belajar kaligrafi arab yang biasa
disebut khat.
Inikah Pesantren Al-Ittihad Garut?
Kedua mataku mengembun. Kurang
ajar nian makhluk kurus kering bernama Raisul Balad itu, ia telah menjailiku. Aku
masih berharap salah alamat, masuk ke pesantren yang salah. Tapi, nama
Pesantren Al-Ittihad Garut sudah jelas pada papan nama di depan tadi.
Ayah berdiri di belakangku, membiarkanku
menumpahkan seluruh asa dalam mengagumi pesantren baruku. Seandainya ayah tahu
isi hatiku yang sebenarnya, niscaya ayah akan menuntun aku kembali ke
Tasikmalaya. Tapi, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kasihan ayah, jika harus
kembali sia-sia. Keinginan agar putranya menjadi murid ulama idolanya akan pupus.
Berbeda dengan Ibu, tampaknya Ibu
tidak sabar berlama-lama. Begitu dua orang santri wanita melintas di depan kami.
Ibu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya letak kantor pesantren.
”Itu kantornya.”
Jawab santri berparas anggun
itu sambil menunjuk sebuah bangunan.
”Itu?”
Aku tertegun. Bangunan yang
ditunjuk santri itu sebuah rumah yang pintu depannya dibiarkan terbuka lebar. Itu
bukan kantor, bangunan itu adalah rumah seperti rumah lainnya yang kutemui tadi
sepanjang jalan kecil. Dua santri wanita itu berlalu.
”Tunggu!”
Mereka menghentikan
langkahnya, lalu menoleh padaku.
”Betul, itu kantornya?”
Santri anggun itu mengangguk
sambil tersenyum, sedangkan temannya terlihat kurang bersahabat. Wajahku jadi
setengah tersenyum dan setengah lagi tidak.
Sebenarnya, aktifitas di balik
jendela berkusen warna hijau muda itu, sudah cukup membuktikan bahwa bangunan
itu adalah sebuah kantor. Seorang lelaki paruh baya, berambut lurus dan berkaca
mata tebal sedang mengetik di depan komputer. Ditambah pula dengan kedatangan dua
santri bercelana warna krem menghampiri jendela itu sambil menyodorkan lembaran
kertas, semacam kartu iuran. Pertanyaanku tadi hanya ingin memastikan wajah
wanita anggun itu. Karena wajah anggunnya itu mengingatkanku pada seseorang. Ini bukan
bisa-bisanya lelaki. Sungguh!
Kami segera menghampiri
kantor, lalu mengucapkan salam di depan pintu yang terbuka lebar itu.
Tidak lama kemudian, seorang
lelaki berwajah kotak muncul menghampiri kami, tulang alisnya menonjol, sorot matanya
sangat tajam, lehernya besar dengan pundak yang sedikit menonjol, kedua
tangannya kekar berotot, terlihat sekali ia rajin berolah raga. Badannya atletis
dengan dada bidang membusung. Sepintas mirip bintang film Hollywood pemeran
utama The Terminator, tapi dengan tinggi
170 sentimeter saja. Aku langsung mengkerut takut. Kesan pertamaku, aku akan
menemukan keangkeran dari lelaki itu. Gerak-gerikku akan selalu dipantau oleh
lelaki bermata elang itu.
”Dzul Qarnain. Panggil saya
Dzul saja.”
Lelaki itu memperkenalkan diri
sambil menyodorkan tangan. Dari logat bicaranya, agaknya ia orang Batak. Kami
menyambut tangannya bergantian, tentu saja kecuali Ibu, karena laki-laki dan
wanita bukan muhrim, haram bersentuhan.
Ayah pun terlibat perbincangan
dengan orang yang cukup dipanggil Dzul itu. Ayah menyampaikan niat kedatangan
kami ke Pesantren. Berdasarkan perbincangan mereka, ternyata Pesantren
Al-Ittihad Garut sama seperti pesantren lamaku, membebaskan seluruh santrinya
untuk memilih tempat tinggal, bisa tinggal di asrama, bisa juga kost di sekitar
pesantren.
Awalnya kupikir seluruh santri
tinggal di asrama. Tiga gedung asrama putera tentu bisa menampung seluruh
santri. Aku mulai curiga, kebohongan apa lagi yang telah disampaikan Rais
padaku. Tiga gedung asrama putera itu pasti tidak semegah yang kubayangkan.
Selanjutnya perbincangan mulai
mengarah padaku, tentang asal pesantrenku, prestasiku, lalu alasan pindahku.
Tidak lupa lelaki santun itu memintaku untuk menunjukkan raport terakhirku.
Beberapa saat ia membuka-buka raportku.
”Baik, putra Bapak diterima di
sini.”
Ayah dan Ibu tampak begitu
senang. Sedangkan aku belum jelas, serasa berada di antara dua rasa, antara
senang dan sedih. Senang karena melihat kedua orang tua gembira. Sedih, karena pesantren
ini tidak sesuai dengan yang kubayangkan. Satu simpul kebohongan sudah terkuak,
bangunan kelas yang kokoh, itu bohong!. Mungkin sebentar lagi asrama.
Selanjutnya aku diantar menuju
ruang asrama yang akan kutempati. Letaknya tidak jauh dari kantor. Tapi, karena
asrama yang akan kutempati berada di lantai tiga, ayah dan Ibu dianjurkan untuk
menunggu di kantor saja. Lelaki kekar itu menjinjing tas koper bersejarah milik
ayah yang berwarna hijau itu. Ringan sekali tampaknya tas itu di tangan ustadz
berotot itu.
* * *
Setelah shalat dhuhur dan
ashar dilakukan dengan cara jama’ dan
qashar di salah satu ruangan kantor, Ayah
dan Ibu akhirnya pulang kembali ke Tasikmalaya. Petuah-petuah singkat keluar
dari mulut dua orang yang sangat kucintai itu, mulai dari jangan telat makan
hingga jangan lupa minum obat, kalau sakit.
Kucium kedua tangan Ayah dan
Ibu penuh hidmat. Mata Ibu mulai berkaca, ayah juga. Akupun sama, kilatan air
mata sudah mulai tampak di kedua mataku yang mulai memanas. Bahkan kalau boleh,
aku ingin menangis. Bukan, kali ini bukan perpisahaan yang membuat mataku
mengembun begitu, karena dari awal aku sudah siap, perpisahan ini akan terjadi.
Ada hal lain yang membuatku ingin menangis. Nanti aku ceritakan. Kalau sempat.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar