"Huaaaah!"
Tanganku reflek menutup mulutku ketika menguap, mataku mulai terasa panas
dan mengeluarkan air mata, ngantuk tapi otak melek, itulah pengaruh kopi. Sirkuit mirror neuron system di otak Irvan bereaksi terhadap kantukku,
ia ikut menguap.
Aku dan Irvan terus berpacu dengan waktu, karyaku ini akan menjadi background
acara perpisahan. Karya kaligrafiku sudah cukup banyak, tapi ini adalah karya
perdana yang akan menjadi incaran kamera dan menjadi background photo
kenangan teman-temanku.
Tema acara perpisahan besok adalah 'Kalian adalah umat terbaik', Kyai Haji
Ahmad Zarkasyi sendiri yang akan menyampaikan pidatonya. Maka, kalimat
kaligrafi arab yang kubuat berbunyi,
'Kuntum khaira
ummah, ukhrijat linnaasi ta'muruuna bil ma'ruuf wa tanhauna 'anil mungkar wa
tu'minuuna billah'
Petikan Al-Quran surat Ali Imran ayat 110 itu sudah tersusun di atas lantai
kamar. Aku berdiri, lalu
melihatnya dari atas. Kaligrafi Arab bergaya Farisi, pilihan yang tepat
untuk karya yang sedang dikejar deadline. Khat jenis ini sangat
sederhana, sama seperti Riq'ah. Tidak perlu diberi harakat apalagi
pernak-pernik hiasan seperti Tsuluts.
Bedanya, khat Riq'ah mudah dibaca, sedangkan Farisi agak sulit
dibaca, hanya orang yang mengerti kaidah penulisan kaligrafi Arab saja yang
bisa membaca khat jenis ini.
Warna kuning emas pilihan Irvan memang tepat, karena background layar berwarna hijau tua. Irvan memang ahlinya
memadankan dan memadukan warna. Tapi sayang, ia tidak pernah bisa memadankan
warna kulit dan pakaiannya. Tugasku berikutnya adalah melapisi
kaligrafi Arab itu dengan styrofoam, agar huruf menjadi tebal dan
terlihat effect tiga dimensi.
Lembar demi lembar huruf dari kertas scotlite tersusun hingga
membentuk kata, lalu kata demi kata disusun menjadi sebaris kalimat. Dengan
guntingnya Irvan memang mahir mengkeluk kertas menjadi barang bernilai seni.
Bersamaan dengan itu, potong demi potong kisah hidupnya pun mengalir dari
mulutnya. Pintar sekali ia menceritakan
kisah hidupnya, sepintar ia menggunting, menyusun dan merangkai kertas. Kadang
aku dibuat tersenyum, lalu sedih, lalu tergelak mentertawakan kelakuan
bodohnya, lalu sedih kembali, hingga mataku berair. Entah, aku tidak tahu,
apakah ini air mata haru, panas menahan kantuk, atau air mata lelah karena
tertawa.
"Sep, hidup adalah seni memainkan peran."
Ungkapnya dengan senyum, tapi ada kilasan air mata di situ. Kukatupkan
bibirku, menghentikan komentar dan tawaku.
Aku ingin berbagi kisah. Pernahkah mendengar kisah cinta paling menyedihkan
abad ini. Kisah itu adalah kisah cinta Irvan dan Lulu. Kisah cinta mereka tidak
seperti kisah Zainuddin dan Hayati dalam novel HAMKA, atau kisah Romeo dan
Juliet karya
kang Shakespare. Tidak
pula seperti kisah Qais dan Laila dalam kisah Laila Majnun. Bukan pula kisah
cinta bertepuk sebelah tangan seperti cinta pamanku pada Aisyah Putri pak RT yang
cantik jelita itu.
"Aku ditolak orang tua Lulu, karena kulitku tidak putih, Sep."
Aku tertegun. Otakku langsung terhubung dengan beberapa kejadian
sebelumnya. Pantas sekali ia selalu menolak jika diajak main sepakbola dan
aktifitas yang berpanas-panasan. Pastas saja ia selalu merawat kulit layaknya
seorang gadis perawan. Pantas saja ia selalu membeli juice pepaya tanpa es,
lalu berlama-lama di kamar mandi. Mungkin ia luluran di sana. Segala macam cara
untuk memutihkan kulit sepertinya sudah dia coba. Tapi kalau pigment
dasarnya tidak putih, ya tetap saja gelap. Kasihan dia, di saat orang-orang
bule sana ingin berkulit gelap, orang gelap berusaha menjadi kulit putih.
Kisah cinta Irvan Lulu sangat berbeda dengan seluruh kisah cinta yang ada
di dunia. Irvan dipaksa putus oleh orang tua Lulu, karena Irvan berkulit, maaf,
tidak putih. Jangan bilang hitam, nanti dia marah. Aku sendiri bingung,
haruskah aku bersedih atau tertawa menanggapi kisah cinta unik ini, tapi begitu
adanya. Hingga membuatku terlihat gila, karena tertawa sambil menangis. Kini,
telah kutemukan jawaban perbuatan nekad Irvan melakukan begadang tiga hari tiga
malam. Pasti karena kisah cinta tak sampai ini.
Kulit hitam. Alasan yang sangat tendesius, terlalu mengada-ada. Ini
sudah masuk kategori SARA. Rasulullah saja tidak suka mengbedakan manusia
berdasarkan ras dan warna kulit. Karena yang paling mulia di sisi Allah adalah
orang yang paling taqwa.
"Apa aku harus operasi plastik?"
Tanyanya padaku. Aku
terdiam menghentikan gerakan gunting. Pertanyaan ini sulit sekali untuk kujawab. Mengiyakan, berarti aku
menyetujui praktek kufur terhadap
karunia Allah. Tindakan bodoh, padahal dia pasti tahu, hitam, putih, kuning
langsat, sawo matang, sawo busuk, semua adalah karunia Allah. Kenapa harus
operasi plastik segala? Tapi, jika aku melarangnya, berarti aku tidak sensitif
dengan masalah warna kulitnya. Aku
terdiam beberapa saat.
"Operasi plastik itu sangat mahal, Van."
Akhirnya aku menemukan jawaban yang tepat, agaknya kalimat itu lebih cocok
untuk santri yang tidak berduit.
"Iya juga sih."
Timpalnya, ia terlihat kecewa dan sedih. Seperti itukah cinta jika sudah
menginfeksi, seperti virus, membuat seseorang merasa kepanasan di tengah hujan
salju atau merasa kedinginan di terik padang pasir. Kisah Irvan hampir sama
denganku, tapi alasan penolakannya saja yang berbeda. Aku..., sudahlah, tidak
perlu dibahas lagi.
Penolakan Irvan ini karena ibunya Lulu trauma berat dengan orang berkulit
hitam. Ketika ibunya melahirkan Lulu, ayahnya mencampakkan mereka berdua, ayah
Lulu kawin lagi dengan wanita yang lebih muda dan cantik. Ayah Lulu berkulit hitam. Kisah lainnya, ibunya pernah rugi besar dalam
berbisnis karena dikhianati temannya, teman ibunya berkulit hitam juga. Serta
masih banyak lagi kisah orang yang menyakiti hati ibunya, semuanya punya satu
kesamaan, berkulit hitam. Akhirnya ibunya Lulu mengambil satu kesimpulan :
"Katakan tidak pada kulit hitam!"
Lulu terlahir bagai mutiara dengan kulit kuning langsat, cantik, manis
dengan kerudung warna pink. Itu kesan pertamaku ketika kulihat photonya di
dompet hitam kumel si Irvan. Menurutku kalau memang ia sangat berniat ingin mengganti
warna kulit, seharusnya ia mulai pula dari hal-hal kecil dulu, contohnya warna
dompet, jangan hitam.
Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika Lulu terlahir berkulit hitam
seperti ayahnya. Apakah ia akan dicampakkan ibunya karena dianggap pembawa
sial? Apakah drama cinta ini tidak akan terjadi? Serta pertanyaan yang paling fundamental
adalah, apakah Irvan akan mencintai Lulu jika berkulit hitam? Ketika kutanyakan
hal itu pada Irvan, ia menjawab :
"Aku akan mencintai Lulu apa adanya."
Irvan memang pencinta sejati. Ia berdiri lalu melangkah ke pintu kamar yang
kami biarkan sedikit terbuka. Kupikir, ia ingin menyelami suasana ini,
memandang bulan Purnama, lalu menitikkan air mata di sana, seperti yang pernah kulihat di film-film. Ternyata, ia hanya menuangkan ampas kopi
ke dalam tempat sampah. Lalu kembali. Dasar!
"Lulu sendiri bagaimana?"
"Maksudmu?"
"Apakah ia mencintaimu apa adanya?"
"Ya, tapi,"
"Tapi bagaimana, Van?"
"Ia wanita shalihah, itu yang membuatku semakin mencintainya."
"Maksudmu?"
"Ia lebih memilih mengikuti keputusan ibunya."
Aku menarik nafas panjang lalu melepaskannya perlahan. Cinta memang aneh,
semakin susah diraih, maka perasaan itu semakin dalam. Kuambil gelas kopiku,
lalu menyeruputnya, pahit-pahit manis, rasa kantuk sedikit terobati. Kulirik
jam tanganku. Jam dua dini hari. Aku tersenyum, aku sudah memecahkan record
begadangku sendiri. Memecahkan record begadang Irvan? Naudzubillaah!!
"Kenapa enggak cari wanita lain saja Van?"
Saran dalam pertanyaan basi yang sangat tidak berperasaan keluar dari
mulutku. Sangat mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan.
"Cinta itu adanya di sini, Sep." Irvan menunjuk dadanya.
"Cinta itu bukan barang yang bisa dengan mudah dialihkan begitu saja
ke sembarang tempat. Ketika kuserahkan cinta pada Lulu, maka selamanya cinta
itu akan melekat padanya, tidak akan pernah bisa diambil kembali. Jika cinta
itu berubah menjadi benci, justeru itulah bukti dalamnya cinta."
Aku mengangguk-angguk setuju dengan pendapatnya, karena akupun pernah
merasakanya. Irvan adalah sang pencinta, ia layak disejajarkan dengan Qais,
Zainuddin, Romeo, Pamanku dan tentu saja aku. Narsis!
"Hoooy!!! Malah pada curhat, udah selesai belum!? Teman-teman pada
nunggu tuh di gedung, semua sudah beres tinggal kerjaan kalian!"
Teriakan Taufik Husein di pintu kamar mengagetkan kami berdua.
"Sedikit lagi, bawa saja yang sudah. Nanti saya dan Asep nyusul ke sana!"
Taufik Husein mengambil huruf-huruf yang berjejer di lantai kamar, lalu
memasukkannya ke tas ransel. Ia bergegas pergi lagi.
Agar pekerjaan dekorasi cepat selesai, kami melakukan tugas ini secara estafet,
Irfan dan aku yang membuat kaligrafi. Setiap selesai satu baris kalimat, Taufik
Husein dan Raisul Balad bergantian mengantar jemput karya kami, karena jarak
asrama ke gedung cukup jauh, mereka menggunakan motor, sedangkan Purnomo,
Harits dan beberapa teman kami lainnya yang memasang huruf-huruf itu di
bentangan layar background. Tapi, khusus untuk huruf Arab, aku dan Irvan
sendiri yang harus datang ke sana. Karena hanya kami yang tahu cara menyusun
huruf-huruf Arab itu.
Sementara itu, Iwan tertidur pulas di samping kami sejak jam sepuluh malam,
di atas ranjang kayu kesayangan kami, ia tidur sambil tersenyum, agaknya ia sedang mimpi menghitung laba. Masih sempatnya
ia berjualan sehari sebelum hari perpisahan kami. Zaki? ia tengah shalat
tahajjud.
"Sampai di mana tadi Sep?"
Tanya Irvan sambil menyendok kopi, lalu menuangkannya ke dalam gelas,
begitu juga dengan gula pasirnya. Setelah ia rasa cukup, ia tuangkan air panas dari termos. Asap mengepul
dari gelas itu, wangi khas kopi kembali memenuhi ruangan kecil kami. Itu adalah
gelas kopi panas yang keempat, sedangkan aku, yang kedua saja belum habis.
"Sekarang giliranmu cerita Sep."
Pintanya, karena aku tidak menjawab pertanyaannya yang pertama tadi.
Aku tertegun menatap mata Irvan yang mulai kemerahan karena menahan
kantuk. Aku ragu, haruskah kuceritakan kisah yang selalu kurahasiakan ini.
Kurasakan ada kilatan di mataku. Kilatan air mata. Entahlah, apakah air mata
karena panas menahan kantuk atau karena kesedihanku mengingat kejadian itu.
Irvan terlihat lebih ceria setelah menceritakan kisahnya, mungkin dengan
berbagi kisah, bebannya sedikit terangkat. Apakah aku harus berbagi kisah juga,
agar beban dalam hatiku ini sedikit terangkat?
Tiga tahun yang lalu. Rahma
Mardliyyah namanya, gadis cantik yang mengikat hatiku. Santri wanita yang
membuatku tidak jadi pindah ke pesantren Al-Ittihad Garut. Sangat cerdas,
kecerdasannya akan membuat Nur Rahman, si tukang tidur itu terpental dari
jajaran anak jenius. Ia hampir tidak pernah merasakan indahnya nilai 8. Setiap
kali ulangan atau ujian, ia selalu mendapat nilai 9 atau 10. Sempurna. Nilai
yang sangat sulit kudapatkan. Maka layaklah, kalau Rahma yang sekilas wajahnya
mirip Indah itu dijuluki si otak komputer.
Rahma memang bukan Indah,
Indah memang bukan Rahma, aku sangat bersyukur mereka bukan orang yang sama.
Karena Indah sudah memiliki calon suami, sedangkan Rahma, kuharap belum.
Ketika Saddam mengetahui
aku suka pada Rahma, ia bergerak lebih cepat. Selembar surat melayang ke tangan
Rahma. Itulah awal mula kami menjadi rival sejati. Persaingan yang awalnya
hanya dalam lingkup memperebutkan ranking satu, akhirnya berubah menjadi
persaingan dalam segala sektor. Termasuk masalah wanita calon pendamping hidup.
Tentu saja Saddam
ditolak mentah-mentah. Tadinya aku yakin sekali, Saddam ditolak karena kumis
baplangnya yang menggelikan. Tapi, jika mengingat santri-santri tampan lainnya
yang ditolak Rahma. Maka dugaanku salah.
Menurut kabar yang
beredar, setiap surat yang sampai ke tangan Rahma, tidak ada satupun yang ia
baca. Rahma tidak sombong, apalagi angkuh. Rahma wanita yang ramah dan supel, ia
disukai teman-temannya. Rahma menolak semua lelaki karena ia tidak ingin
mengotori niat belajar di pesantren. Lagi pula, menurutnya pacaran itu haram
hukumnya. Jika mengingat cara berpacaran pemuda-pemudi zaman sekarang, maka aku
sependapat dengannya.
Aku belajar dari
kegagalan Saddam dan beberapa teman lainnya yang mencoba mendekati Rahma. Maka,
pada satu kesempatan, aku menyampaikan isi hatiku dengan cara yang berbeda,
“Jika aku sudah siap,
aku berjanji untuk mengkhitbahmu.
Maukah anti berjanji menungguku
hingga waktu itu tiba?”
Waktu itu Rahma tidak
menjawab pertanyaanku. Aku pun kecewa. Tapi, di luar dugaan, Rahma mengirim
surat padaku dan menyatakan ia siap menungguku.
Lalu hari-hariku kulalui
dengan indah. Masa depan rasanya terlihat sangat jelas di mataku. Aku dan Rahma
tidak pernah ngobrol atau berkirim surat. Hubungan dan janji ini, kami
rahasiakan. Tidak ada satupun yang tahu janji kami itu, selain Ibu, karena
padanya aku tidak pernah bisa berbohong.
Tiga bulan kemudian
petaka pun datang. Surat dari Rahma sampai padaku. Isinya, ia meminta maaf
tidak mungkin lagi memenuhi janji itu. Menurut murabbinya, janji seperti itu adalah bathil, tidak ada dalam kamus
ajaran Islam. Haram hukumnya. Aku bertanya, jika Aku berjanji menjadikan Rahma
sebagai wanita pertama yang akan kukhitbah, dan Rahma berjanji akan selalu
menungguku. Apakah kami salah?
Rahma lebih percaya
sabda murabbinya daripada sabda
hatinya yang masih mencintaiku. Lalu, Rahma menghilang. Ia keluar dari
pesantren, entah ke pesantren mana ia pindah. Ia meninggalkanku sendiri dalam
bimbang.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar