Minggu, 03 Juli 2016

Sang Pencinta

"Huaaaah!"
Tanganku reflek menutup mulutku ketika menguap, mataku mulai terasa panas dan mengeluarkan air mata, ngantuk tapi otak melek, itulah pengaruh kopi. Sirkuit mirror neuron system di otak Irvan bereaksi terhadap kantukku, ia ikut menguap.
Aku dan Irvan terus berpacu dengan waktu, karyaku ini akan menjadi background acara perpisahan. Karya kaligrafiku sudah cukup banyak, tapi ini adalah karya perdana yang akan menjadi incaran kamera dan menjadi background photo kenangan teman-temanku.
Tema acara perpisahan besok adalah 'Kalian adalah umat terbaik', Kyai Haji Ahmad Zarkasyi sendiri yang akan menyampaikan pidatonya. Maka, kalimat kaligrafi arab yang kubuat berbunyi,
'Kuntum khaira ummah, ukhrijat linnaasi ta'muruuna bil ma'ruuf wa tanhauna 'anil mungkar wa tu'minuuna billah'
Petikan Al-Quran surat Ali Imran ayat 110 itu sudah tersusun di atas lantai kamar. Aku berdiri, lalu melihatnya dari atas. Kaligrafi Arab bergaya Farisi, pilihan yang tepat untuk karya yang sedang dikejar deadline. Khat jenis ini sangat sederhana, sama seperti Riq'ah. Tidak perlu diberi harakat apalagi pernak-pernik hiasan seperti Tsuluts. Bedanya, khat Riq'ah mudah dibaca, sedangkan Farisi agak sulit dibaca, hanya orang yang mengerti kaidah penulisan kaligrafi Arab saja yang bisa membaca khat jenis ini.
Warna kuning emas pilihan Irvan memang tepat, karena background layar berwarna hijau tua. Irvan memang ahlinya memadankan dan memadukan warna. Tapi sayang, ia tidak pernah bisa memadankan warna kulit dan pakaiannya. Tugasku berikutnya adalah melapisi kaligrafi Arab itu dengan styrofoam, agar huruf menjadi tebal dan terlihat effect tiga dimensi.
Lembar demi lembar huruf dari kertas scotlite tersusun hingga membentuk kata, lalu kata demi kata disusun menjadi sebaris kalimat. Dengan guntingnya Irvan memang mahir mengkeluk kertas menjadi barang bernilai seni.
Bersamaan dengan itu, potong demi potong kisah hidupnya pun mengalir dari mulutnya. Pintar sekali ia menceritakan kisah hidupnya, sepintar ia menggunting, menyusun dan merangkai kertas. Kadang aku dibuat tersenyum, lalu sedih, lalu tergelak mentertawakan kelakuan bodohnya, lalu sedih kembali, hingga mataku berair. Entah, aku tidak tahu, apakah ini air mata haru, panas menahan kantuk, atau air mata lelah karena tertawa.
"Sep, hidup adalah seni memainkan peran."
Ungkapnya dengan senyum, tapi ada kilasan air mata di situ. Kukatupkan bibirku, menghentikan komentar dan tawaku.
Aku ingin berbagi kisah. Pernahkah mendengar kisah cinta paling menyedihkan abad ini. Kisah itu adalah kisah cinta Irvan dan Lulu. Kisah cinta mereka tidak seperti kisah Zainuddin dan Hayati dalam novel HAMKA, atau kisah Romeo dan Juliet karya kang Shakespare. Tidak pula seperti kisah Qais dan Laila dalam kisah Laila Majnun. Bukan pula kisah cinta bertepuk sebelah tangan seperti cinta pamanku pada Aisyah Putri pak RT yang cantik jelita itu.
"Aku ditolak orang tua Lulu, karena kulitku tidak putih, Sep."
Aku tertegun. Otakku langsung terhubung dengan beberapa kejadian sebelumnya. Pantas sekali ia selalu menolak jika diajak main sepakbola dan aktifitas yang berpanas-panasan. Pastas saja ia selalu merawat kulit layaknya seorang gadis perawan. Pantas saja ia selalu membeli juice pepaya tanpa es, lalu berlama-lama di kamar mandi. Mungkin ia luluran di sana. Segala macam cara untuk memutihkan kulit sepertinya sudah dia coba. Tapi kalau pigment dasarnya tidak putih, ya tetap saja gelap. Kasihan dia, di saat orang-orang bule sana ingin berkulit gelap, orang gelap berusaha menjadi kulit putih.
Kisah cinta Irvan Lulu sangat berbeda dengan seluruh kisah cinta yang ada di dunia. Irvan dipaksa putus oleh orang tua Lulu, karena Irvan berkulit, maaf, tidak putih. Jangan bilang hitam, nanti dia marah. Aku sendiri bingung, haruskah aku bersedih atau tertawa menanggapi kisah cinta unik ini, tapi begitu adanya. Hingga membuatku terlihat gila, karena tertawa sambil menangis. Kini, telah kutemukan jawaban perbuatan nekad Irvan melakukan begadang tiga hari tiga malam. Pasti karena kisah cinta tak sampai ini.
Kulit hitam. Alasan yang sangat tendesius, terlalu mengada-ada. Ini sudah masuk kategori SARA. Rasulullah saja tidak suka mengbedakan manusia berdasarkan ras dan warna kulit. Karena yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa.
"Apa aku harus operasi plastik?"
Tanyanya padaku. Aku terdiam menghentikan gerakan gunting. Pertanyaan ini sulit sekali untuk kujawab. Mengiyakan, berarti aku menyetujui praktek kufur terhadap karunia Allah. Tindakan bodoh, padahal dia pasti tahu, hitam, putih, kuning langsat, sawo matang, sawo busuk, semua adalah karunia Allah. Kenapa harus operasi plastik segala? Tapi, jika aku melarangnya, berarti aku tidak sensitif dengan masalah warna kulitnya. Aku terdiam beberapa saat.
"Operasi plastik itu sangat mahal, Van."
Akhirnya aku menemukan jawaban yang tepat, agaknya kalimat itu lebih cocok untuk santri yang tidak berduit.
"Iya juga sih."
Timpalnya, ia terlihat kecewa dan sedih. Seperti itukah cinta jika sudah menginfeksi, seperti virus, membuat seseorang merasa kepanasan di tengah hujan salju atau merasa kedinginan di terik padang pasir. Kisah Irvan hampir sama denganku, tapi alasan penolakannya saja yang berbeda. Aku..., sudahlah, tidak perlu dibahas lagi.
Penolakan Irvan ini karena ibunya Lulu trauma berat dengan orang berkulit hitam. Ketika ibunya melahirkan Lulu, ayahnya mencampakkan mereka berdua, ayah Lulu kawin lagi dengan wanita yang lebih muda dan cantik. Ayah Lulu berkulit hitam. Kisah lainnya, ibunya pernah rugi besar dalam berbisnis karena dikhianati temannya, teman ibunya berkulit hitam juga. Serta masih banyak lagi kisah orang yang menyakiti hati ibunya, semuanya punya satu kesamaan, berkulit hitam. Akhirnya ibunya Lulu mengambil satu kesimpulan :
"Katakan tidak pada kulit hitam!"
Lulu terlahir bagai mutiara dengan kulit kuning langsat, cantik, manis dengan kerudung warna pink. Itu kesan pertamaku ketika kulihat photonya di dompet hitam kumel si Irvan. Menurutku kalau memang ia sangat berniat ingin mengganti warna kulit, seharusnya ia mulai pula dari hal-hal kecil dulu, contohnya warna dompet, jangan hitam.
Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika Lulu terlahir berkulit hitam seperti ayahnya. Apakah ia akan dicampakkan ibunya karena dianggap pembawa sial? Apakah drama cinta ini tidak akan terjadi? Serta pertanyaan yang paling fundamental adalah, apakah Irvan akan mencintai Lulu jika berkulit hitam? Ketika kutanyakan hal itu pada Irvan, ia menjawab :
"Aku akan mencintai Lulu apa adanya."
Irvan memang pencinta sejati. Ia berdiri lalu melangkah ke pintu kamar yang kami biarkan sedikit terbuka. Kupikir, ia ingin menyelami suasana ini, memandang bulan Purnama, lalu menitikkan air mata di sana, seperti yang pernah kulihat di film-film. Ternyata, ia hanya menuangkan ampas kopi ke dalam tempat sampah. Lalu kembali. Dasar!
"Lulu sendiri bagaimana?"
"Maksudmu?"
"Apakah ia mencintaimu apa adanya?"
"Ya, tapi,"
"Tapi bagaimana, Van?"
"Ia wanita shalihah, itu yang membuatku semakin mencintainya."
"Maksudmu?"
"Ia lebih memilih mengikuti keputusan ibunya."
Aku menarik nafas panjang lalu melepaskannya perlahan. Cinta memang aneh, semakin susah diraih, maka perasaan itu semakin dalam. Kuambil gelas kopiku, lalu menyeruputnya, pahit-pahit manis, rasa kantuk sedikit terobati. Kulirik jam tanganku. Jam dua dini hari. Aku tersenyum, aku sudah memecahkan record begadangku sendiri. Memecahkan record begadang Irvan? Naudzubillaah!!
"Kenapa enggak cari wanita lain saja Van?"
Saran dalam pertanyaan basi yang sangat tidak berperasaan keluar dari mulutku. Sangat mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan.
"Cinta itu adanya di sini, Sep." Irvan menunjuk dadanya.
"Cinta itu bukan barang yang bisa dengan mudah dialihkan begitu saja ke sembarang tempat. Ketika kuserahkan cinta pada Lulu, maka selamanya cinta itu akan melekat padanya, tidak akan pernah bisa diambil kembali. Jika cinta itu berubah menjadi benci, justeru itulah bukti dalamnya cinta."
Aku mengangguk-angguk setuju dengan pendapatnya, karena akupun pernah merasakanya. Irvan adalah sang pencinta, ia layak disejajarkan dengan Qais, Zainuddin, Romeo, Pamanku dan tentu saja aku. Narsis!
"Hoooy!!! Malah pada curhat, udah selesai belum!? Teman-teman pada nunggu tuh di gedung, semua sudah beres tinggal kerjaan kalian!"
Teriakan Taufik Husein di pintu kamar mengagetkan kami berdua.
"Sedikit lagi, bawa saja yang sudah. Nanti saya dan Asep nyusul ke sana!"
Taufik Husein mengambil huruf-huruf yang berjejer di lantai kamar, lalu memasukkannya ke tas ransel. Ia bergegas pergi lagi.
Agar pekerjaan dekorasi cepat selesai, kami melakukan tugas ini secara estafet, Irfan dan aku yang membuat kaligrafi. Setiap selesai satu baris kalimat, Taufik Husein dan Raisul Balad bergantian mengantar jemput karya kami, karena jarak asrama ke gedung cukup jauh, mereka menggunakan motor, sedangkan Purnomo, Harits dan beberapa teman kami lainnya yang memasang huruf-huruf itu di bentangan layar background. Tapi, khusus untuk huruf Arab, aku dan Irvan sendiri yang harus datang ke sana. Karena hanya kami yang tahu cara menyusun huruf-huruf Arab itu.
Sementara itu, Iwan tertidur pulas di samping kami sejak jam sepuluh malam, di atas ranjang kayu kesayangan kami, ia tidur sambil tersenyum, agaknya ia sedang mimpi menghitung laba. Masih sempatnya ia berjualan sehari sebelum hari perpisahan kami. Zaki? ia tengah shalat tahajjud.
"Sampai di mana tadi Sep?"
Tanya Irvan sambil menyendok kopi, lalu menuangkannya ke dalam gelas, begitu juga dengan gula pasirnya. Setelah ia rasa cukup, ia tuangkan air panas dari termos. Asap mengepul dari gelas itu, wangi khas kopi kembali memenuhi ruangan kecil kami. Itu adalah gelas kopi panas yang keempat, sedangkan aku, yang kedua saja belum habis.
"Sekarang giliranmu cerita Sep."
Pintanya, karena aku tidak menjawab pertanyaannya yang pertama tadi.
Aku tertegun menatap mata Irvan yang mulai kemerahan karena menahan kantuk. Aku ragu, haruskah kuceritakan kisah yang selalu kurahasiakan ini. Kurasakan ada kilatan di mataku. Kilatan air mata. Entahlah, apakah air mata karena panas menahan kantuk atau karena kesedihanku mengingat kejadian itu.
Irvan terlihat lebih ceria setelah menceritakan kisahnya, mungkin dengan berbagi kisah, bebannya sedikit terangkat. Apakah aku harus berbagi kisah juga, agar beban dalam hatiku ini sedikit terangkat?
Tiga tahun yang lalu. Rahma Mardliyyah namanya, gadis cantik yang mengikat hatiku. Santri wanita yang membuatku tidak jadi pindah ke pesantren Al-Ittihad Garut. Sangat cerdas, kecerdasannya akan membuat Nur Rahman, si tukang tidur itu terpental dari jajaran anak jenius. Ia hampir tidak pernah merasakan indahnya nilai 8. Setiap kali ulangan atau ujian, ia selalu mendapat nilai 9 atau 10. Sempurna. Nilai yang sangat sulit kudapatkan. Maka layaklah, kalau Rahma yang sekilas wajahnya mirip Indah itu dijuluki si otak komputer.
Rahma memang bukan Indah, Indah memang bukan Rahma, aku sangat bersyukur mereka bukan orang yang sama. Karena Indah sudah memiliki calon suami, sedangkan Rahma, kuharap belum.
Ketika Saddam mengetahui aku suka pada Rahma, ia bergerak lebih cepat. Selembar surat melayang ke tangan Rahma. Itulah awal mula kami menjadi rival sejati. Persaingan yang awalnya hanya dalam lingkup memperebutkan ranking satu, akhirnya berubah menjadi persaingan dalam segala sektor. Termasuk masalah wanita calon pendamping hidup.
Tentu saja Saddam ditolak mentah-mentah. Tadinya aku yakin sekali, Saddam ditolak karena kumis baplangnya yang menggelikan. Tapi, jika mengingat santri-santri tampan lainnya yang ditolak Rahma. Maka dugaanku salah.
Menurut kabar yang beredar, setiap surat yang sampai ke tangan Rahma, tidak ada satupun yang ia baca. Rahma tidak sombong, apalagi angkuh. Rahma wanita yang ramah dan supel, ia disukai teman-temannya. Rahma menolak semua lelaki karena ia tidak ingin mengotori niat belajar di pesantren. Lagi pula, menurutnya pacaran itu haram hukumnya. Jika mengingat cara berpacaran pemuda-pemudi zaman sekarang, maka aku sependapat dengannya.
Aku belajar dari kegagalan Saddam dan beberapa teman lainnya yang mencoba mendekati Rahma. Maka, pada satu kesempatan, aku menyampaikan isi hatiku dengan cara yang berbeda,
“Jika aku sudah siap, aku berjanji untuk mengkhitbahmu. Maukah anti berjanji menungguku hingga waktu itu tiba?”
Waktu itu Rahma tidak menjawab pertanyaanku. Aku pun kecewa. Tapi, di luar dugaan, Rahma mengirim surat padaku dan menyatakan ia siap menungguku.
Lalu hari-hariku kulalui dengan indah. Masa depan rasanya terlihat sangat jelas di mataku. Aku dan Rahma tidak pernah ngobrol atau berkirim surat. Hubungan dan janji ini, kami rahasiakan. Tidak ada satupun yang tahu janji kami itu, selain Ibu, karena padanya aku tidak pernah bisa berbohong.
Tiga bulan kemudian petaka pun datang. Surat dari Rahma sampai padaku. Isinya, ia meminta maaf tidak mungkin lagi memenuhi janji itu. Menurut murabbinya, janji seperti itu adalah bathil, tidak ada dalam kamus ajaran Islam. Haram hukumnya. Aku bertanya, jika Aku berjanji menjadikan Rahma sebagai wanita pertama yang akan kukhitbah, dan Rahma berjanji akan selalu menungguku. Apakah kami salah?
Rahma lebih percaya sabda murabbinya daripada sabda hatinya yang masih mencintaiku. Lalu, Rahma menghilang. Ia keluar dari pesantren, entah ke pesantren mana ia pindah. Ia meninggalkanku sendiri dalam bimbang.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar